Mohon tunggu...
Yopi Ilhamsyah
Yopi Ilhamsyah Mohon Tunggu... Dosen - Herinnering

Herinnering

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Si Adik Manis Jalan Fatahillah

17 November 2022   11:40 Diperbarui: 30 November 2022   09:21 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan Fatahillah jelang malam. Foto: Dokpri.

Kisah ini merupakan memoar lawas kala saya bertempat tinggal di Geuceu Iniem, Kota Banda Aceh. Di sana, saya menumpang di rumah paman dari tahun 2002 hingga 2003.

Saat itu, saya tengah menempuh pendidikan sarjana di Universitas Syiah Kuala.

Mengingat jarak yang jauh, untuk sampai di kampus, saya mengayuh sepeda dari Geuceu Iniem ke Mesjid Raya Baiturrahman. Di mesjid ini, saya memarkir sepeda lalu diteruskan dengan menumpang robur.

Oh ya, kendaraan yang disebut robur ini adalah sejenis angkutan penumpang mirip bus era tahun 1960-an. Beberapa unit robur memiliki bodi berwarna hijau tua dengan hanya bagian atap dan tulisan Universitas Syiah Kuala yang dicat putih. Unit robur lainnya ada yang berwarna putih. Tempat duduk hanya berupa rangka besi berbantalan plat. Acapkali kita jumpai gumpalan bekas las di banyak sudut tempat duduk. Disertai derungan suara mesin layaknya truk, robur menjadi armada favorit mahasiswa kala itu. Di tambah ongkosnya yang murah, kami rela berhimpit-himpitan di dalam robur untuk sampai di kampus.

Kadang kala saya menumpang labi-labi untuk sampai di kampus yang berlokasi di Darussalam. Labi-labi adalah sebutan angkutan kota (angkot) berbentuk minibus Suzuki Futura di Banda Aceh.  

Di kampus, saya menjalani aktivitas hingga malam hari. Usai kuliah di kelas, saya bertugas sebagai asisten di laboratorium. Selain juga ada proyek dosen yang saya kerjakan di laboratorium. Saya baru pulang pada pukul 22.00 WIB.

Untuk pulang ke rumah paman di Geuceu Iniem, saya kembali menumpang labi-labi. Oh ya, armada robur tidak beroperasi di malam hari.

Robur, angkutan primadona mahasiswa di Banda Aceh pada masanya. Foto: Dokpri.
Robur, angkutan primadona mahasiswa di Banda Aceh pada masanya. Foto: Dokpri.

Setiba di mesjid raya, saya bergegas menuju parkiran sepeda motor yang berada di halaman belakang, menuntun sepeda tanpa motor ke luar dan segera mengayuhnya menuju Geuceu Iniem. Petugas parkir di mesjid raya sangat baik, saya tidak pernah dipungut biaya parkir. Semoga Allah membalas kebaikan abang petugas parkir ini.

Geuceu Iniem merupakan sebuah kampung di barat daya Kota Banda Aceh. Saat masih tinggal di sana, rumah penduduk masih jarang. Di pinggir jalan, di sela-sela tanah kosong, berdiri rumah-rumah mewah berlantai dua. Konon pemiliknya adalah orang-orang berada di Banda Aceh.

Tahun 2002-2003, situasi politik di Aceh memanas. Konflik antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memuncak hingga akhirnya pemerintah pusat memberlakukan operasi militer di Aceh.

Banyak pemilik rumah di Geuceu Iniem yang pindah sementara ke Jakarta. Jadilah rumah-rumah besar ini kosong. Rumah-rumah laksana gedung ini terkonsentrasi di Jalan Fatahillah. Jalan ini berupa jalanan lurus ke selatan dengan hanya beberapa belokan ringan ke arah barat daya.

Jalan ini berujung di kompleks Zeni TNI di Keutapang Dua. Rumah paman saya berada hampir di ujung jalan Fatahillah yang bersebelahan dengan asrama tentara tersebut.

Saban pagi saban malam saya melintas di sepanjang jalan Fatahillah nyaris dari ujung ke ujung baik saat hendak atau pulang dari kampus.          

Jalanan lengang di malam hari diikuti suasana sepi senyap, saya mengayuh pedal sepeda dengan cepat ketika memasuki Jalan Fatahillah. Roda pun berputar kencang. Sesekali kaki ini beristirahat di atas pedal setelah kayuhan cepat. Perlahan-lahan, laju sepeda ikut melambat. Wajah saya berpaling ke kanan dan kiri mengamati rumah-rumah mewah yang telah ditinggal hijrah pemiliknya.

Halaman depan rumah gedung ini gelap gulita, beberapa ada yang sedikit diterangi lampu jalan bersinar oranye. Nah, di salah satu rumah yang terkena cahaya lampu jalan ini saya kerap melihat penampakan bocah kecil. Saya menaksir usianya sekitar 4-5 tahun. Ia berdiri di teras di depan pintu.

Samar-samar saya melihat adik kecil ini mengenakan baju terusan anak-anak berwarna krim dengan rok mengembang di bawahnya.

Pernah saya menghentikan sepeda guna mengamati lebih detil penampakan adik kecil ini. Wajahnya putih pucat, matanya putih, tidak tampak bulatan hitam di bola mata. Saya juga tidak melihat kakinya, ia seperti mengambang di teras.

Ia tersenyum terkadang diikuti lambaian tangan, mempertontonkan gestur "dag-dag" khas anak kecil dengan badan bergoyang. Saya membalas senyumannya seraya melambaikan tangan. Hampir setiap malam saya melihat si adik kecil di sana. Kadang-kadang ada perasaan khawatir juga selepas melihat si adik di sana. Khawatir kalau-kalau si adik tiba-tiba berdiri di belakang di besi pijakan kaki untuk boncengan (jalu sepeda) atau duduk dengan kaki menyilang di batang depan sepeda pria, hehe…

Rumah adik kecil ini berada di sebelah kiri (timur) jika kita memasuki Jalan Fatahillah dari arah Geuceu Kayee Jato. Tidak jauh di belakang rumah adik kecil itu terdapat Krueng (sungai) Daroy.

Saya ingat, paman kerap berpesan agar jangan membawa main anak balitanya yang berumur 4 tahun ke sekitar sungai. Suatu ketika, si bocil mengaku kalau ia melihat taman di sana dengan banyak anak-anak yang bermain. Nah!    

Dahulu, Krueng Daroy adalah taman bermain Putri Kamaliah bersama anak-anak mengayuh sampan ditemani para dayang istana.

Sejarahnya bermula ketika Putri Kamaliah, istri Sultan Iskandar Muda, merindukan kampung halamannya yang berbukit-bukit dengan sungai mengalir di bawahnya. Putri sendiri berasal dari Negeri Pahang di Semenanjung Malaya.

Keberadaan Krueng Daroy dengan airnya yang sejuk dan jernih karena mengalir langsung dari hulu di Glee Mata Ie (Bukit Mata Air) menjadi modal awal sultan guna mengobati rasa kangen sang permaisuri.  

Sultan lalu melengkapinya dengan pembangunan gunung-gunungan (kini dikenal dengan sebutan Gunongan) beserta taman luas di sekitarnya yang disebut Taman Ghairah. Boleh jadi ini yang dilihat oleh keponakan saya dalam penerawangannya. Wallahu A'lam...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun