Mohon tunggu...
Yopi Ilhamsyah
Yopi Ilhamsyah Mohon Tunggu... Dosen - Herinnering

Herinnering

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Misteri di Kampus Unsyiah

29 April 2021   12:40 Diperbarui: 29 April 2021   12:46 2990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana malam di salah satu sudut Kampus Unsyiah, Banda Aceh (Dokumentasi Pribadi).

Kampus berangsur-angsur sepi seiring mahasiswa yang memilih mudik lebaran selepas terbitnya edaran pimpinan yang kembali memberlakukan kuliah daring (online) karena kasus COVID-19 yang meningkat di Banda Aceh.

Berjalan di sepanjang koridor kampus yang sepi di sore hari, saya teringat dengan suasana saat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) se-Indonesia akibat mewabahnya COVID-19 yang menimbulkan kematian tahun lalu.    

Kala itu sejak akhir Maret, kampus sepenuhnya kosong tanpa aktivitas. Gedung-gedung megah yang menjulang di tanah Kota Pelajar Mahasiswa (Kopelma) Darussalam tutup. Civitas Akademika Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) baik dosen maupun tenaga kependidikan serta mahasiswa bekerja dan belajar dari rumah.

Baru ketika dimulainya fase adaptasi kebiasaan baru oleh pemerintah, kampus mulai kembali menggeliat kendati belum sepenuhnya normal. Suasana masih sepi dan terasa semakin senyap selepas Dhuhur.

Suasana hening saya rasakan kala bekerja dari lantai III di sebuah fakultas. "Suasana yang nyaman untuk menulis," pikir saya dalam hati. Hari demi hari pada fase awal tatanan baru pasca COVID-19 berlalu -meskipun hingga sekarang kasus COVID-19 masih terus berfluktuasi-.

Saya semakin larut dalam pekerjaan. Tidak terasa hari telah gelap. Kumandang adzan Maghrib terdengar dari mesjid kampus. Jeda sejenak untuk Sholat. sesaat kemudian saya meraih satu Pak kopi sachet paket komplit 3 in 1, mengguntingnya sebungkus, membubuhkannya dalam gelas kecil, menyeduhnya dengan air hangat, aduk perlahan, sllruuup...."Nikmat!" seru saya yang bergema dalam salah satu ruangan seluas 9 meter persegi. Dan saya pun kembali melanjutkan pekerjaan yang memasuki tahap finishing.

Sekilas saya menoleh ke arah jendela bagian atas. Langit tampak gelap, bulan hanya memunculkan separuh wujudnya, bintang-bintang berkilauan memancarkan warna-warni cahayanya. Kaca-kaca persegi kecil tersusun melebar dan tinggi membentuk kesatuan jendela besar membuat kita dapat dengan mudah melongok ke langit.

Suasana kampus yang lengang di malam hari dengan semerbak harum bunga Tanjung dari pedestrian (Dokumentasi Pribadi).
Suasana kampus yang lengang di malam hari dengan semerbak harum bunga Tanjung dari pedestrian (Dokumentasi Pribadi).

Di malam hari, jendela besar di lantai III ini menyajikan pemandangan indah ke arah langit. Kaca persegi kecil yang dapat dibuka memungkinkan udara dingin malam memasuki ruang. Namun sebaliknya di siang hari, rangkaian kaca membentuk jendela besar ini malah menjadikan kondisi di dalam cukup panas kendati telah dilengkapi Air Conditioner (AC). Sepertinya desain gedung menggunakan jendela besar bermaterial kaca tidak cocok untuk daerah tropis yang lembab dan panas.

Penasaran dengan gugusan bintang yang terbentuk di langit Banda Aceh. Saya menghentikan pekerjaan dan membuka sebuah laman web yang menampilkan informasi rasi bintang, mencoba mensinergikan bintang-bintang yang tampak di langit. Saya teringat, konstelasi bintang di langit telah lama digunakan oleh para endatu (nenek moyang) orang Aceh untuk menentukan musim di Aceh.

Peredaran benda-benda angkasa terhimpun dalam sebuah kearifan lokal bernama Keuneunong, digunakan sebagai acuan musim hujan dan waktu tanam padi serta nelayan pergi melaut dalam adat istiadat Aceh tempo dulu. Pergeseran musim akibat perubahan iklim  ditambah polusi udara yang menyulitkan penerawangan benda-benda langit secara kasat mata, kearifan lokal ini mulai ditinggalkan masyarakat Aceh. Namun demikian, kemajuan teknologi yang semakin baik dalam prediksi cuaca dan iklim dapat kita integrasikan ke dalam Keuneunong, sehingga warisan budaya otentik Aceh ini masih dapat diandalkan dalam fungsinya sebagai rujukan baik untuk kalender tanam, peringatan dini hingga waktu melaut dan menangkap ikan di Aceh.

Kala asyik berselancar di dunia maya mengamati konstelasi bintang pada fase Astronomical Twilight di langit Banda Aceh, hembusan udara dingin dari AC serta pertukaran udara malam lewat celah jendela kaca membuat saya lebih cepat merasakan panggilan alam (nature's call). Sebelum menyeruput kopi, saya telah lebih dulu meneguk beberapa gelas air untuk melepas rasa haus sekaligus meredakan ketegangan pada otak setelah dipaksa berpikir seharian penuh.

Saya segera meluncur menuju toilet yang berada di wing barat.

Sekeluar dari rest room saya kembali memasuki koridor. Riuh gemuruh suara angin di luar terdengar nyaring layaknya suara siulan besar ketika menerobos celah jendela di depan lobby lantai III yang menghadap ke utara.

Suasana koridor gelap gulita, hanya lampu ruangan saya yang menyala. Belakangan saya baru mengetahui jika tersedia saklar untuk menghidupkan penerangan di sepanjang koridor.

Saya berjalan santai dan berbelok ke arah pintu. Saat akan membuka pintu, saya sempat menoleh ke arah tangga. Saya terkaget dan melompat ke belakang secara spontan kala melihat sesosok orang seperti melayang menuruni tangga menuju lantai II. Orang tersebut berbadan besar dan cukup tinggi kira-kira 2 meter lebih. Sontak saya pun segera meninggalkan ruangan begitu saja, menuruni tangga dengan langkah cepat melalui wing barat hingga tiba di lantai dasar.

Kala pulang mengendarai sepeda motor, saya mencoba menerka penampakan di tangga tadi. Siapakah gerangan? Sementara belum banyak orang ke kampus kala itu. Konon lagi sampai malam, di lantai III pula. Ada gerangan apa orang tersebut di lantai atas tanpa lampu. Lantas siapakah yang saya lihat di tangga?

Beberapa hari berlalu, saya mencoba merekonstruksi kejadian malam itu. Mencoba mensimulasikan bagaimana membedakan orang yang berjalan menuruni tangga dengan orang yang bergerak melayang di tangga.

Saya kemudian memasuki ruang kelas yang berada di seberang tangga lantai III. Ruang kelas dengan pintu sedikit terbuka tampak luas di tengah suasana sepi nan hening namun pengap. Saya berjalan mengitari kelas dari sudut ke sudut, melihat keluar melalui jendela di sisi samping selatan, terlihat jejeran pepohonan cemara menjulang berayun ditiup angin barat sekonyong-konyong menyapa saya. Sesaat akan keluar, saya mengatakan "tolong jangan ganggu saya."

Syahdan suatu sore, pernah pula saat asyik bekerja saya dikejutkan dengan bunyi lagu yang bersumber dari miniatur kincir angin di ruang luar. Saat saya jenguk, suvenir kincir ini tidak bergerak sementara butuh energi pula untuk memutar kincir mini ini guna mendengar dentingan lagu yang ditimbulkan. Lantas siapa yang memutar kincir ini?  

Dedemit di lantai atas 

Saya pernah membaca buku Kisah Tanah Jawa yang ditulis Om Hao dan kawan-kawan. Pada sebuah halaman, saya mendapati si penulis menyebutkan bahwa wangsa dedemit (makhluk halus) senang menempati gedung-gedung bertingkat seperti hotel, apartemen, perkantoran bertingkat. Boleh jadi ini karena efek gravitasi tidak lagi berpengaruh bagi mereka. He he...

Apakah yang saya alami berasal dari salah satu dedemit yang menjadi "penghuni baru" saat kampus Unsyiah mengalami lockdown? Wallahu a'lam bish-shawabi. Ditambah lagi dengan lingkungan kampus yang minim penerangan di malam hari.

Yang menarik, dalam bahasa Aceh, makhluk halus atau hantu disebut "Burong."  Kenapa disebut "Burong"? Terminologi "Burong" dalam budaya Aceh ini masih menyisakan tanda tanya.  Apakah karena bisa terbang layaknya burung-burung di angkasa? Sementara untuk hewan bersayap ini, orang Aceh justru menyebutnya "Cicem." Nah!

Kampus Unsyiah berhantu?

Dalam blog lidahtinta.wordpress.com, saya menemukan sebuah postingan yang ditulis oleh T.A Talsya, ia menyebutkan bahwa dahulu kawasan yang kini telah berganti nama menjadi kampung kopelma Darussalam berikut kampus Unsyiah di dalamnya adalah rawa-rawa. Kawasan rawa ini bernama Rumpet. Pada masa kolonial, wilayah rawa ini secara administrasi terdaftar sebagai N.V.Roempit.

Saya mencoba mencermati lebih detil bahwa kampus Unsyiah ini tidak jauh dari daerah rawa Krueng Cut di utara, sementara Krueng Cut tidak jauh pula dari estuari Alue Naga di utaranya lagi. Krueng (sungai) Aceh yang dahulu masih berpenampang kecil berada tidak jauh di barat. Di bagian timur dan barat Krueng Aceh adalah daerah floodplain yang kerap tergenang air baik ketika hujan maupun pasang laut dan baik Krueng Cut serta Rumpet termasuk di dalamnya. Secara Geologi, boleh jadi daerah rawa yang kini menjadi kopelma Darussalam masih berhubungan dan satu kesatuan dengan rawa Krueng Cut sampai Alue Naga. Jarak kopelma Darussalam dengan pantai juga tidak jauh. Saat peristiwa Tsunami 2014, beberapa gedung di bagian utara Unsyiah juga terkena Tsunami.

Kampus Unsyiah berdiri di atas rawa-rawa yang ditimbun (Dokumentasi Pribadi).
Kampus Unsyiah berdiri di atas rawa-rawa yang ditimbun (Dokumentasi Pribadi).

Kembali lagi ke Unsyiah tempo dulu yang merupakan kawasan rawa bernama Rumpet. Karena lokasinya yang berada di antara lini konsentrasi (concentratie stelsel) benteng-benteng Belanda yang membentang dari Krueng Cut ke Lam Baro, rawa Rumpet kerap menjadi front pertempuran sengit antara pejuang Aceh dengan serdadu Kompeni. Banyak korban jiwa jatuh di kedua belah pihak.  

Yang menarik masih dalam tulisan T.A Talsya, ada cerita orang-orang tua dulu yang mendiami  wilayah di seberang timur Rumpet seperti Tungkop, Lambaro Angan, Mireuk yang berpesan agar menghindari wilayah rawa Rumpet jika pulang dari Koetaradja (nama Banda Aceh masa kolonial) pada petang jelang malam hari.

Jika tetap nekat, maka siap-siap melihat penampakan bayangan-bayangan aneh disertai bau tidak sedap. Tidak jarang pula menjelang senja atau gelap malam yang dibasahi rintik hujan tampak bola api beterbangan. Orang Aceh menyebutnya dengan Jen apui atau setan api.

Terkait Jen Apui, saya pernah mendengarnya langsung lewat penuturan kakek penjaga salah satu fakultas di Unsyiah. Cerita ini disampaikan 20 tahun yang lalu ketika saya masih menempuh pendidikan sarjana di fakultas tersebut. Saat masih berstatus mahasiswa sarjana, saya termasuk mahasiswa pencinta kampus. He he...Malam hari pun masih di kampus, tidak jarang turut menginap di salah satu laboratorium di fakultas tersebut. Oleh karenanya, saya dan beberapa mahasiswa lain mendekati kakek penjaga agar dibolehkan tinggal di dalam fakultas pada malam hari. Terkadang si kakek ikut nimbrung bersama kami dan berbagi pengalaman hidupnya. 

Sang kakek yang telah hidup pada tiga zaman berbeda (Belanda, Jepang dan kemerdekaan) bercerita bahwa dulu kawasan kampus Unsyiah masih rawa-rawa dengan kebun-kebun Kelapa. Inilah mengapa ada kampung bernama Lampoh U (kebun kelapa) di sektor barat. "Dulu belum ada penerangan (lampu), kalau malam orang-orang tidak berani lewat daerah ini karena diganggu Jen Apui." Demikian penuturan kakek yang saya ingat yang aslinya dalam bahasa Aceh. Sang kakek kini telah berpulang ke Rahmatullah.

Cerita lain oleh almarhum kakek yang saya ingat, di fakultas tempat saya berkuliah ada pohon beringin tinggi dan rimbun berdiameter batang cukup besar. Civitas kampus menyebut pohon tersebut dengan pohon DPR yang bermakna "di bawah pohon rindang". Nah, tempat tumbuh pohon beringin tersebut konon dulunya adalah kuburan. Di bawah pohon beringin teduh tersebut pada malam hari ada penampakan seorang perempuan berambut panjang hingga menutupi punggung dan wajah berdiri di ujung gerbang barat laut fakultas di dekat pohon Tanjung yang wangi di malam hari di samping got besar di sisi utara fakultas.

Sekarang gedung fakultas baru dengan tiang-tiang beton kokoh berdiri di atas got dan bekas tapak bangunan gedung lama. Pohon beringin besar masih eksis dan menjadi landmark fakultas tersebut selain saksi hidup perkembangan Unsyiah dari zaman ke zaman.

Dua dekade telah berlalu, cerita urban legend kampus Unsyiah boleh jadi akan terus melegenda dari generasi ke generasi. Selanjutnya, menarik untuk menyimak pengalaman (malam Jum'at) anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun