Di keheningan malam, saat semua orang sudah tertidur. Tiba-tiba terdengar cekikikan tawa seorang wanita. Tawa tersebut berasal dari dalam kamar sebuah rumah panggung di suatu kampung di Kabupaten Aceh Besar bagian timur laut. Sontak seluruh penghuni rumah pun terkejut. "Tawa siapa gerangan?", tanya seorang anak perempuan di rumah itu.
Seorang laki-laki keluar dari kamar di depan. Dengan tergopoh-gopoh, ia mengatakan kalau istrinya kerasukan jin. Malam itu mereka pulang larut. Sesosok makhluk memasuki tubuh istrinya saat mereka terlelap sepulang dari kampung di barat daya yang lumayan jauh. Mungkin si makhluk telah mengikuti kami sewaktu pulang dengan sepeda motor. Demikian kata laki-laki yang menjadi suami wanita itu.
Orang tua di rumah menyuruh anak laki-laki untuk memanggil tukang meurajah. Segera setelah tukang meurajah tiba. Dengan ritual islam, ia menanyakan siapa gerangan yang telah merasuki wanita ini. "Soe kah? (Siapa kamu dalam bahasa Aceh)", tanya wanita paruh baya yang berprofesi sebagai tukang meurajah di kampung.
Si wanita terus tertawa cekikikan sembari memandangi semua penghuni rumah dengan tatapan mata melotot. Wanita yang kerasukan menjawab, "nyo lon (ini aku-pen)".Â
Tukang meurajah bertanya lagi dalam bahasa Aceh, "dari pat kah? (dari mana kamu-pen)". Wanita yang kerasukan menjawab "lon dari tutue Lambaro, lon matee dipoh, badan lon dicang-cang dudoe ditik lam krueng Aceh miyub tutue (aku dari Jembatan Lambaro, aku mati dibunuh, jasadku dimutilasi kemudian dibuang ke Sungai Aceh di bawah Jembatan Lambaro)". Kemudian tertawa lagi.
Semua penghuni rumah ketakutan mendengar suara bergetar mirip suara laki-laki yang keluar dari mulut wanita yang kerasukan itu disertai lengkingan tawa. Suami wanita yang kerasukan mengatakan bahwa mereka memang melewati Jembatan Lambaro.
Jembatan Lambaro, demikian masyarakat menyebut Jembatan yang berlokasi di kampung Lambaro sekitar 5 kilometer di tenggara Kota Banda Aceh. Jembatan ini menghubungkan kampung Lambaro dengan kampung Siron. Jembatan ini juga menyeberangi pengguna jalan menuju bandar udara Sultan Iskandar Muda di timur.Â
Di bawah jembatan mengalir Krueng (sungai-pen) Aceh yang berhulu di Gunung Seulawah di tenggara. Kini jembatan ini telah dibangun dua ruas jalan terpisah. Tidak jauh di ujung barat jembatan dijumpai bundaran yang terhubung ke Jalan Raya Banda Aceh-Medan. Sementara tidak jauh di timur (kira-kira 200 meter) di pinggir jalan raya Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) ditemukan kuburan masal puluhan ribu korban Tsunami 2004. Â
Dahulu, jembatan sepanjang 150 meter ini masih berupa sebuah jembatan kecil dengan jalur yang saling berpapasan. Dengan letaknya yang berada di luar Kota Banda Aceh, kala malam tiba, hanya sedikit lampu jalan menerangi jembatan.
Kejadian wanita kerasukan sebagaimana diceritakan sebelumnya terjadi pada medio 90-an. Wanita tersebut adalah kakak ipar saya dan cerita ini dituturkan oleh istri saya. Selepas dirajah, makhluk tersebut keluar sambil melepas lengkingan tawa dan kakak ipar pun pingsan.
Setelah siuman ia bertanya apa yang telah terjadi, orang-orang di rumah bercerita bahwa ia kerasukan jin dari Jembatan Lambaro. Kakak ipar mengaku bahwa ia termenung di sepanjang jalan pulang menuju rumah kala dibonceng oleh suaminya. Tatkala melewati Jembatan Lambaro, ia seketika menjadi takut saat mengamati suasana di sekitar jembatan yang gelap gulita. Â Â
Masa konflik di Aceh pada tahun 90-an, kerap terjadi penculikan dan penembakan misterius. Mayat-mayat korban pembunuhan dibuang begitu saja di pinggir jalan raya. Banyak pula yang dibuang ke sungai. Boleh jadi seorang diantaranya yang telah berwujud makhluk halus merasuki kakak ipar dan mengungkap identitasnya sendiri sebagai korban pembunuhan di masa konflik.Â
Suatu hari, saya melewati Jembatan Lambaro dan teringat dengan kejadian yang menimpa kakak ipar. Sesampai di ujung barat jembatan, saya berbelok ke kiri memasuki jalan kecil. Saya memberhentikan sepeda motor dan berjalan kaki menyusuri bantaran Krueng Aceh. Bantaran sungai dipenuhi ilalang, pohon pisang dan pepohonan rimbun lainnya.
Saya mendapati larangan untuk berada di jembatan pada malam hari. Larangan ini berupa ilustrasi pocong dan kuntilanak berikut tulisan peringatan "Dilarang Masuk Kawasan Berbahaya!" yang digambarkan oleh warga di tembok jembatan.Â
Saya memasuki kolong jembatan dan menemukan suasana gelap dan sepi. Seketika bulu kuduk berdiri saat mendengar desiran angin, saya pun berlari meninggalkan Jembatan Lambaro sembari mengingat korban mutilasi yang dibuang ke sungai ini.
Dahulu, kejadian kerasukan acapkali menimpa keluarga istri saya. Pernah pula terjadi pada ibu mertua selain dua orang kakak ipar. Kami tinggal di pedalaman Aceh Besar di mana mitos tentang kuntilanak Pocut Siti begitu melegenda. Nantikan kisah nyata saya selanjutnya.
Note: Tukang Meurajah adalah semacam dukun di Aceh atau tabib yang mengobati orang kerasukan dengan membacakan doa yang berisikan ayat-ayat-ayat Al-Quran.
(Penulis: Yopi Ilhamsyah, Warga Aceh Besar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H