Mohon tunggu...
Alexander Yopi
Alexander Yopi Mohon Tunggu... -

Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo

Selanjutnya

Tutup

Money

Kartu Elektronik KRL Merebut Pendapatan Kami: Tukang Koran!

3 Juli 2013   09:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:05 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Receh itu berharga buat kami. Tetapi sejak ada tiket single trip dan multi trip di setiap stasiun kereta, receh pun berkurang. Pendapatan kami merosot.

"Biasanya beli tiket Rp8000, dapat kembalian Rp2000. Banyak roker (rombongan kereta) langsung beli koran," ujar Wardi, bukan nama sebenarnya, penjaja koran di stasiun depok.

Saan (alias), penjaja koran lainnya mengatakan, beberapa langganan tetap hanya lewat dan tersenyum. Mereka mengatakan, tidak ada receh. Sementara sebelah tangannya menggenggam kartu multi trip.

Receh memang selalu milik orang kecil. Perputaran duit receh ada di tukang parkir, polisi cepek, pengamen, pedagang asongan, tukang gorengan, dan penjaja koran.

Filosofi receh adalah, secara psikologis tidak akan signifikan mengurangi isi dompet. Karena itu, sangat mudah untuk dihibahkan atau dibelanjakan dengan sesuatu yang lebih berharga, seperti koran.

Lihat berapa harga koran di stasiun kereta. Tidak lebih dari Rp5000. Harga psikologis Rp2000. Bahkan, memasuki sore, beberapa dijual Rp1000.

Wardi dan Saan sepakat, koran-koran yang laris di stasiun ialah kompas, tempo, dan pos kota. Dari ketiga koran ini, mereka bisa mendulang pendapatan Rp50.000 - di atas Rp100.000 untuk setiap pagi.

"Apalagi kalau ada kasus atau berita menarik yang banyak orang ingin tahu. Pasti laris manis," kata Wardi.

Sebagian, lanjut Wardi, tidak membeli koran untuk dibaca. Mereka menggunakan koran itu untuk alas duduk di kereta.

"Sudah tahu tidak kebagian tempat, pasti dibeli untuk alas duduk. Soalnya saya tahu, orang yang beli itu tidak biasa baca koran hehehehe," katanya.

Wardi menambahkan, receh itu berkah buat kami. Sebagian membeli koran - selain untuk dibaca - tetapi juga untuk amal. Mereka telah berlangganan koran di rumah. Receh, dengan membeli, mereka beramal kepada kami.

Sejak diberlakukan sistem kartu, kata Wardi, roker tidak banyak mengantongi receh. Sekali membeli, mereka bisa langsung menuju pintu masuk. Beda dengan sistem karcis. Selalu ada receh di saku.

"Ini yang menurunkan pendapatan kami," kata dia.

Saan dan Wardi belum berpikir untuk berpindah tempat. Pertama, belum ada larangan dari pihak pengelola untuk tidak boleh menjajakan koran di stasiun, sekitar pintu masuk.

Kedua, mereka masih menjajaki kebiasaan baru roker dengan diberlakukan kartu single dan multi trip. Tentu saja, akan ada strategi baru demi membuat roker serta merta mengeluarkan receh untuk membeli koran.

"Atau, kami siap dengan duit kembalian, jika mereka harus mengeluarkan duit bernilai besar untuk membeli koran," kata Saan.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun