Kendati tetap bersinar dan menjadi bintang di klub lain, David Beckham dan Christian Ronaldo tetap dijual Sir Alex Ferguson. Banyak yang menyangsikan apakah keputusan itu benar dan akan menyebabkan Manchester United berjalan baik-baik saja. Sedikit berpengaruh pada awal-awal permainan MU, selanjutnya kepergian kedua bintang Red Devil itu seolah-olah tidak meninggalkan jejak apapun.
Ferguson barangkali tidak terlalu suka dengan sinar kebintangan kedua pemain ini yang jauh lebih kuat berada di luar garis lapangan. Tentu saja, keberadaan keduanya memberikan keuntungan penjualan atribut klub sekaligus tuah untuk daya tarik kapitalisasi pasar bagi klub.
Namun, Ferguson bukanlah pelatih dan manager yang menggantungkan nasib klub pada aspek kebintangan semata. Dia butuh konsistensi permainan, yang nampak dari keseimbangan faktor-faktor fundamental klub. Kestabilan dalam berprestasi, pembinaan pemain muda, kerja sama tim, dan strategi jual-beli pemain adalah aspek yang dia pikirkan dengan sangat matang.
Semula saya berpikir Roy Keane adalah sosok terpilih yang menjadi plasenta bagi pemain muda lain. Tetapi, sang kapten yang elegan itu pun pergi. Padahal, hampir nampak sama jalan pikiran Roy Keane dan Ferguson. Sang Opa bahkan dibuat nyaman. Keane menjadi jembatan komunikasi yang efektif untuk dirinya dan pemain lain, juga ritme permainan MU di kala berlaga.
Toh, pilihan Ferguson justru jatuh kepada dua pemain ini, Ryan Giggs dan Paul Scholes. Dia bahkan turun tangan untuk meyakinkan Scholes bahwa kariernya di lapangan hijau bersama MU belum habis. Kendati sang pemain sudah melangsungkan pertandingan perpisahan. Sama halnya pula dengan Giggs. Dia bahkan optimistis, Giggs mampu bermain dua musim lagi. Bagi sang opa, keduanya adalah plasentanya, yang mengucurkan spirit, motivasi, dan visi misi sang opa untuk generasi saat ini.
Mereka cocok terutama karena memiliki kesamaan ini. Giggs dan Scholes adalah jaminan dari konsistensi dan kestabilan permainan MU. Lalu kedua pemain itu membalas kepercayaan Sang Opa dengan dedikasi dan loyalitas.
Tidak jarang karena perseteruan dengan Sang Opa, beberapa pemain akhirnya hengkang. Karena itu, selain berjiwa kebapaan – banyak pemain dan mantan pemain MU yang menyebut Ferguson sebagai pengganti orang tua mereka – Ferguson pun tidak segan-segan menelan hidup-hidup pemain, entah di ruang ganti atau di lapangan, karena melawan komando. Dia adalah sosok yang sangat tegas dan tidak sungkan menukikkan telunjuk kepada pengkritiknya.
Terbaru, ketika Rooney akhirnya memarkir sepatunya dalam pertandingan penting seperti laga leg kedua perempat final Liga Champions versus Real Madrid. Ada Beckham, Nisterooy, Keane, dan sejumlah pemain lain yang tidak betah dengan ketegasan sang Opa. Keane bahkan tetap menjadi pengkritik yang cukup pedas untuk Sang Opa dari pinggir lapangan.
Inilah buktinya, ketika yang dibutuhkan satu-satunya dari sang Opa hanyalah dedikasi dan loyalitas. Dari sini dia pun mendefinisikan arti keberadaan seorang pemain bagi MU. Dari sini pulalah dia mengukur komponen kestabilan dan keseimbangan klub. Dia adalah penjaganya selama bertahun-tahun.
Lalu, apa yang harus dikatakan untuk Eric Cantona, Roy Keane, Solskjaer, Yorke, Andy Cole, Nisterooy, Rio Ferdinand, Vidic, Rooney, van der Saar, Peter Schmeichel, Park Ji Sung, Van Persie. Mereka adalah contoh dari deretan panjang pembelian terbaik yang diputuskan Ferguson. Sebagian dari mereka dilepas untuk dijual pada saat yang tepat.
Memang tidak semua berhasil berkembang di bawah asuhan Sang Opa. Erick Djemba Djemba, Juan S Veron, Diego Forlan adalah contoh dari kegagalan ini. Namun, kegagalan mereka tidak sebanding lurus dengan kegagalan klub. Secara individu mereka tidak berhasil, tetapi sebagai klub MU tetap bersinar.
Timing
Bagi staf pelatih dan para pemain, keputusan Alex Ferguson mundur dari manager dan pelatih adalah berita yang mengejutkan. Cuma jajaran petinggi dan Ferguson yang tahu berita itu. Tetapi, caranya menyampaikan berita kemunduran itu menunjukkan persis siapakah Ferguson sesungguhnya terhadap MU.
Patut dicatat, “di saat klub (kalian) lagi kuat, saya mengundurkan diri. Inilah waktu yang tepat.” Yah, ketika MU sedang mempersiapkan perayaan penerimaan trofi Liga Primer pada 12 Mei 2013, Ferguson pun akan mengucapkan salam perpisahan. Dia tidak ingin kabar mundurnya dia sebagai pelatih dan manager menusuk klub. Maka, di saat lagi kuat, ketika semua faktor fundamental lain lebih memberikan nilai, kabar mundurnya Ferguson menjadi sebuah berita sisipan.
Karena ketika Vidic mengangkat trofi Liga Primer, serentak orang akan mengenang 39 trofi yang sudah diraih MU bersama Ferguson selama 27 tahun. 13 gelar juara Liga Primer, dua gelar juara Liga Champions, lima gelar juara Piala FA, serta empat Piala Liga. Itulah Ferguson.
Lalu mengapa Ferguson mendukung David Moyes sebagai suksesornya?
Legenda MU, Sir Bobby Charlton mengatakan, "Saya selalu bilang bahwa kami menginginkan pelatih selanjutnya adalah seorang Manchester United sejati. Dalam David Moyes kami memiliki seseorang yang mengerti untuk menjadikan klub ini spesial. Kami berhasil mendapatkan seorang yang pelatih yang bisa berkomitmen jangka panjang dan membangun tim untuk masa depan. Stabilitas melahirkan kesuksesan," jelas Charlton.
"David memiliki karakter kuat dan dia mengakui pentingnya membawa pemain muda, serta mengembangkan mereka bersama pemain kelas dunia. Di United, saya pikir David akan mampu mengekspresikan dirinya. Saya senang dia menerimanya," sambungnya.
"Kami bukan mencari seorang (pelatih) yang telah bekerja selama sepuluh bulan atau tiga tahun. Kami mencari seorang yang dapat bertahan dan menghasilkan stabilitas seperti Sir Alex Ferguson," ujar Schmeichel seperti dilansir Skysports.
Moyes selama ini telah menunjukkan kinerja yang bagus bersama Everton. Pelatih berusia 50 tahun itu secara konsisten membawa Everton di posisi yang bagus di Premier League. Akan tetapi, sisi lemah dari Moyes adalah, dia minim pengalaman untuk menangani tim dengan level sangat tinggi.
"David Moyes telah lebih dari satu dekade di Everton dengan keuangan yang minim dan dia telah melakukan tugasnya dengan luar biasa. Dia orang Skotlandia, sama seperti Ferguson; dan dia adalah tipe pria yang dapat Anda lihat bisa menciptakan stabilitas itu," kata Schmeichel.
Ferguson pun mengatakan hal yang sama. “Ketika kami membahas calon yang memiliki atribut tepat, kami sepakat pilihan jatuh kepada David Moyes. David adalah orang yang berintegritas tinggi dengan etos kerja yang kuat. Saya mengagumi karyanya untuk waktu yang lama, dan mendekatinya sejak 1998 untuk membahas posisi asisten manajer di sini,” kata Ferguson seperti dilansir di situs resmi klub, manutd.com, Kamis, 9 Mei 2013.
Jadi, tentang MU semua akan mengatakan, stabilitas, loyalitas, dan timing.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H