Mohon tunggu...
Alexander Yopi
Alexander Yopi Mohon Tunggu... -

Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Inggris Bukan Cinderela

24 Juni 2010   07:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:19 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

[caption id="attachment_176279" align="alignleft" width="200" caption="Capello, Pelatih Timnas Inggris/Admin (Shutterstock.com)"][/caption]

Inggris mengakhiri puisi satirnya pada perhelatan babak penyisihan Grup C dengan manis. Tangis yang sudah dipersiapkan Hooligan tak jadi merebak memecah Vuvuzela. Episode Inggris adalah kisah romantis penuh jalan terjal, tetapi diakhiri dengan happy ending.

Setelah pluit panjang menyudahi pertandingan kontra Slovenia, Fabio Capello tampak tersenyum lebar. Himpitan di dada dan tekanan tinggi di kepala serta merta menyeruak keluar, bak angin yang berebutan keluar dari pecah ban. Capello pantas tersenyum, karena kemenangan 1-0 atas Slovenia itu sudah cukup bagi Inggris melaju ke putaran kedua Piala Dunia 2010.

Namun, kisah romantis Inggris bukanlah kisah Cinderela. Setelah didera oleh tekanan luar biasa di lingkup keluarganya, kisah hidup Cinderela justru berbalik arah. Menjadi istri putra mahkota, Cinderela disambut sebagai ratu, disanjung dan dihormati, dan hidupnya tak lagi berhimpit dalam tekanan.

Beda Inggris. Dengan pinangan di posisi runner up Grup C, pasukan Steven Gerrard mesti kembali melalui jalan terjal dengan menghadapi tim panser Jerman. Keduanya sama-sama terluka di babak penyisihan dan baru bisa memastikan masuk babak berikut setelah melewati pertandingan terakhir. Demikian, perang antara orang-orang terluka itu akan lebih heroik, apalagi perang itu hanya menyisahkan satu kesempatan dengan satu hasil, hidup atau mati. Inggris atau Jerman.

Jika Inggris mampu melewati hadangan Jerman, Argentina atau Meksiko telah menanti. Inggris juga akan bertemu Spanyol, Belanda, Portugal, atau Brasil pada babak selanjutnya, jika tim itu lolos dan Inggris melaju dari cengkeraman Argentina atau Meksiko. Bak sebuah lempeng besi, Inggris seperti melewati pembakaran yang panjang untuk menjadi pedang yang tajam.

Melihat sepak terjangnya di babak penyisihan Grup C, Inggris memang bukan favorit juara. Namun, harga sebuah keterseok-seokan itu adalah kesadaran diri penuh untuk tampil lebih baik. Inggris menyadari betul keterpurukan itu dan mencoba tampil habis-habisan pada laga terakhir. Sering sebuah jalan terjal, pahit dan getir, justru melahirkan petarung tangguh. Jalan terjal itu sedang memanipulasi kesanggupan hingga keluar dari sifat minimalis, untuk tampil semaksimal mungkin. Sering hal yang maksimal itu belum juga cukup memberikan hasil yang melegakan. Namun, tahap demi tahap, mengertilah si manusia yang berada di jalan terjal itu akan manusia super, manusia tangguh, yang siap menyongsong tantangan, apapun beratnya.

Hal inilah yang kemudian terjadi pada Brasil, Italia, Prancis yang tampil menjadi juara dunia, setelah melewati babak penyisihan dengan terseok-seok. Mereka sama sekali tidak dihiraukan, malah ditinggalkan karena keterpurukan itu. Seolah-olah perjuangan mereka adalah hidup enggan mati tak mau. Namun, keterpurukan itu ternyata membawa mereka hingga menjadi juara dunia.

Sejujurnya Inggris memang tampil buruk. Tidak ada kick and rush dari pemain yang mengaku dirinya lahir dari liga terbaik di Eropa. Tidak ada serangan dari kaki ke kaki dengan kombinasi bola panjang. Barangkali karena faktor Fabio Capello yang terkenal sebagai pelatih ortodoks dan konservatif, yang menekankan kedisiplinan dalam bermain. Kreativitas dalam kedisplinan, menurut Capello, adalah dosa. Karena itu, sejauh dapat kreativitas Inggris yang lahir dari kick and rush tersebut dikurangi.

Hal ini mengandaikan Inggris mempunyai pengatur serangan yang tangguh, yang mampu menjadi jembatan komunikasi tanpa putus antara pemain belakang dan penyerang. Capello bergantung pada Steven Gerrard, tetapi justru mengorbankan Frank Lampard. Kemandulan Rooney bahkan menyebabkan strategi Capello itu buyar. Dan lengkaplah sudah. Lampard tidak diberi ruang untuk kreatif, demikian juga Gerrard sehingga jarang gawang lawan diancam oleh kreativitas dua pemain tersebut.

Memang sebaiknya Inggris kembali ke pola tradisionalnya yang justru lebih menakutkan, yaitu kick and rush. Capello rasa-rasanya hanya perlu membenahi lapangan tengah yang kadang berjenis kelamin samar, di antara gaya Gerrard atau Lampard. Tetapi itulah yang disebut penempaan, yaitu sejauh mana Inggris bisa menjadi pedang yang tajam dari satu pembakaran ke pembakaran yang lain. Inggris memang sudah ditakdirkan untuk tidak menjadi Cinderela pada piala dunia tahun ini, kecuali keluar sebagai juara dunia.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun