[caption id="attachment_168863" align="alignleft" width="298" caption="Jabulani (KOMPAS.com)"][/caption]
Siapa Saja Berhak Ciptakan Sejarah!
Banyak yang menanti kiprah Spanyol setelah merasa tidak puas dengan penampilan Brasil, Argentina, Inggris, Portugal, Italia, dan Prancis pada putaran piala dunia 2010 saat ini. Penikmat yang konservatif.
Kenyataannya, Jabulani kini sedang mempertontonkan ketidakberpihakannya pada tradisi dan nama besar. Tradisi itu cenderung menafikan, arogan, dan memandang sebelah mata. Sementara itu, nama besar berdiri di atas sendi yang sudah keropos. Karena selalu berkaca pada masa lalu tanpa mempedulikan aktualitas. Benar kata orang, bola itu bulat, tiada bertepi, tiada pula berujung. Bola bergulir ke mana dia suka, tanpa terprediksi, kecuali kebetulan belaka.
Konservatisme bola bersumber pada dua penyakit itu, yaitu tradisi dan nama besar. Hal ini pulalah yang menyebabkan Pele bisa dengan mudahnya mencemooh Diego Maradona dengan mengatakan si tangan Tuhan itu melatih Argentina karena membutuhkan duit, bukan karena bola in se. Karena dua hal itu pula, Franz Beckenbauer mengkritik Fabio Capello karena merasa Inggris jauh di bawah bayang-bayang masa lalunya. Demikian pula Socrates, yang memedaskan telinga Dunga dengan mengatakan pahlawan Brasil di piala dunia 1994 itu sedang merusak permainan jogo bonito Brasil.
Sayangnya, Jabulani ternyata lebih berpihak pada Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang ketimbang pada tradisi dan nama besar tersebut.
Banyak yang membayangkan, Wayne Rooney akan dengan mudah mengkocar-kacirkan pertahanan Amerika Serikat dan menceploskan gol ke gawang Amerika Serikat. Atau Lampard, Gerard yang punya akselerasi dan tendangan maut bakal menembus gawang Amerika Serikat dengan mudah. Namun, kenyataan itu nyaris tidak terekam. Sepanjang 90 menit waktu normal, jarang sekali terlihat Ronney, Lampard, dan Gerrard bisa mendekati gawang Amerika Serikat dan mengancam dengan tendangan mematikan. Pertahanan belakang Amerika Serikat begitu kokoh, sulit ditembus. Dan Rooney, tidak bisa berbuat banyak.
Prediksi tersebut terbalik. Inggris bahkan beberapa kali didikte oleh permainan dari kaki ke kaki Amerika Serikat. Gawang mereka terus menerus dibombardir, sedangkan lapangan tengah dikuasai. Inggris bukanlah menakutkan untuk Amerika Serikat. Hasil imbang (1-1) sudah cukup memberi bukti bahwa Amerika Serikat bukanlah tim underdog, pelengkap penderita yang meramaikan piala dunia.
Pada laga Sabtu (12/6) kemarin, Korea Selatan berhasil mencukur Yunani 2-0.Hasil ini juga mengejutkan, mengingat Korea Selatan bukan merupakan tim favorit yang diunggulkan. Melihat catatan kesebelasan Yunani, Korea Selatan pantas tidak berharap mendapat simpatik kecuali dari pendukungnya sendiri. Yunanti adalah juara Eropa sebelum Spanyol. Saat itu, Yunani disebut-sebut sebagai titisan Belanda karena kembali menghidupkan total football khas Belanda. Karena itu pula, Yunani hingga kini masih tetap disegani. Lagipula, tidak banyak komposisi pemain dan pelatih yang berubah setelah Yunani menjuarai Piala Eropa tersebut.
Korea Selatan memang pernah menjadi semifinalis piala dunia di Jepang. Masuknya pemain negeri gingseng itu juga dibalur sejumlah kontroversi. Setelah di Jepang, Korea Selatan bahkan rontok pada piala dunia sesudahnya. Karena itu, banyak yang mengatakan bahwa masa keemasan Korea Selatan telah lewat.
Catatan manis klub tanpa tradisi dan nama besar itu pun lengkap dengan kemenangan Jepang atas Kamerun. Jepang kembali membuktikan bahwa sepak bola sekarang bukan lagi dominasi negara-negara Eropa dan Amerika Latin. Berada pada posisi tidak diunggulkan, Jepang justru bermain lepas dan mempertahankan gawangnya secara elegan. Tak satu pun kesempatan diberikan kepada Kamerun untuk menyamakan kedudukan, setelah Honda memperdaya kiper Kamerun menjadi 1-0.
Berbekal tradisi, keunggulan fisik, dan komposisi pemain yang lebih mumpuni, Kamerun seharusnya dengan mudah bisa menceploskan bola ke gawang Jepang. Entah untuk menyamakan kedudukan atau untuk mengalahkan Tim Biru Asia tersebut. Namun, saat yang ditunggu-tunggu itu tidak kunjung datang. Sebaliknya, Hondalah yang membawa publik Jepang bersorak-sorai.
Jabulani kini sedang memakan korban. Tidak saja terhadap para pemain, tetapi juga terhadap simpatisan, penikmat, penggila, dan pasar judi bola. Sekurang-kurangnya, Jabulani sedang mengatakan, “selamat tinggal konservatisme, selamat tinggal tradisi dan nama besar. Siapa saja berhak menciptakan sejarah dan nama!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H