Ortodonsia atau Ortodontis merupakan salah satu ilmu kedokteran gigi yang berfokus pada diagnosis, pencegahan, perbaikan oklusi atau susunan gigi/gusi yang tidak teratur dengan mengutamakan estetika gigi. Terdapat sebuah kelainan yang cukup banyak ditemukan pada masyarakat dalam skala nasional dan internasional, yakni maloklusi, kondisi ketika gigi dan tulang rahang tidak sejajar. Berdasarkan data WHO, maloklusi menjadi permasalahan gigi paling banyak ketiga di dunia setelah karies dan penyakit periodontal. Hal ini dibuktikan dengan prevalensi maloklusi sangat tinggi, terutama pada anak-anak dan remaja, mencapai lebih dari 50% populasi dunia. Prevalensi maloklusi di Indonesia juga masih tergolong sangat tinggi yaitu sekitar 80% dari jumlah penduduk. Ini dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan akses perawatan kesehatan gigi. Tidak hanya itu, berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, lebih dari 56 persen masyarakat di Indonesia mempunyai permasalahan gigi, tetapi hanya 11,2 persen saja yang melakukan perawatan gigi. Melihat kondisi tersebut, dari perspektif mahasiswa kedokteran gigi merasa sangat prihatin. Lantas, bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi tingginya prevalensi Maloklusi di Indonesia? Mengingat masyarakat Indonesia memiliki kesadaran yang cukup rendah untuk melakukan perawatan gigi?.
Maloklusi bukanlah sebuah penyakit, tetapi sebuah kelainan dari susunan gigi yang tidak normal dan mempunyai variasi ringan sampai berat. Hal tersebut dapat memengaruhi kualitas hidup seseorang karena manifestasi rongga mulut memegang peranan penting terkait kesehatan tubuh. Beberapa faktor penyebab maloklusi meliputi ketidakseimbangan antara ukuran gigi dengan rahang atas dan bawah, kebiasaan buruk, faktor genetik, gangguan perkembangan, kurangnya pemenuhan gizi, trauma, dan penyakit pada gusi. Kebiasaan buruk seperti menghisap jari dan bernafas melalui mulut juga dapat menyebabkan maloklusi. Tidak hanya itu, tingkat karies yang tinggi dan kehilangan gigi sulung/giigi susu sebelum waktunya dapat menyebabkan perpindahan posisi gigi yang tidak normal dan gigi menjadi berjejal. Gigi berjejal menjadi kelainan pada maloklusi dengan prevalensi terbanyak, yakni lebih dari 50% responden di Surabaya mengalami gigi berjejal. Area gigi berjejal mengakibatkan terjadinya retensi plak sehingga memicu terjadinya masalah periodontal seperti gingivitis dan karies gigi. Tingkatan maloklusi diukur menggunakan Index of Complexity, Outcome, and Need (ICON). Metode tersebut juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat kebutuhan perawatan ortodontik.
Menunda perawatan maloklusi merupakan tantangan umum bagi sebagian pasien dikarenakan beberapa alasan utama. Salah satunya adalah faktor ekonomi yang seringkali menjadi penghalang besar karena biaya perawatan ortodontik yang cukup tinggi bagi beberapa kalangan. Sebagian besar masyarakat juga kurang menyadari bahwa maloklusi tidak hanya berdampak pada estetika tetapi juga kesehatan gigi secara menyeluruh. Kondisi ini menyebabkan masyarakat seringkali hanya mencari perawatan ketika kondisinya sudah parah. Selain itu, kekhawatiran terhadap nyeri dan prosedur yang rumit juga seringkali membuat masyarakat enggan memulai perawatan. Di sisi lain, kesibukan dalam aktivitas sehari-hari sering membuat masyarakat sulit untuk mengatur waktu konsultasi rutin dengan dokter gigi. Meskipun demikian, menunda perawatan dapat memiliki dampak negatif yang signifikan. Kerusakan gigi seperti abrasi, karies, dan masalah gusi dapat bertambah parah, bahkan meningkatkan risiko pencabutan gigi. Maloklusi yang tidak ditangani juga bisa mengganggu fungsi mulut, seperti sulitnya mengunyah dan berbicara, serta memicu masalah pada sendi rahang. Dari segi psikologis, penundaan ini dapat menurunkan rasa percaya diri karena gangguan pada penampilan. Semakin lama perawatan ditunda, semakin rumit dan mahal prosedur yang diperlukan di masa depan. Oleh karena itu, mengutamakan kesehatan gigi sejak dini merupakan langkah penting untuk mencegah masalah yang lebih serius di kemudian hari (Hanindira et al., 2020; Dandel et al., 2022)
Edukasi menjadi langkah awal yang vital untuk meningkatkan kesadaran publik. Informasi mengenai manfaat perawatan, seperti peningkatan fungsi mengunyah, pencegahan kerusakan gigi lebih lanjut, dan peningkatan kepercayaan diri, harus disampaikan secara inklusif melalui berbagai media yang mudah dijangkau. Kampanye kesehatan yang melibatkan sekolah, komunitas, dan media sosial bisa membantu menjangkau beragam lapisan masyarakat. Selain edukasi, peningkatan akses terhadap perawatan maloklusi melalui pemerataan fasilitas kesehatan menjadi kunci penting. Banyak daerah terpencil di Indonesia masih kekurangan fasilitas kesehatan gigi yang memadai. Meningkatkan jumlah klinik gigi, menyediakan alat ortodontik yang terjangkau, serta menyediakan infrastruktur yang memadai menjadi prioritas yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Program subsidi atau layanan gratis untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah juga perlu diperluas. Tidak hanya itu, kesejahteraan tenaga kesehatan perlu diperhatikan dengan serius. Tenaga kesehatan, terutama dokter gigi, memegang peran penting dalam memberikan pelayanan perawatan yang optimal. Upaya seperti pemberian insentif yang layak, pelatihan berkelanjutan, dan penempatan dokter gigi di daerah-daerah terpencil akan memastikan bahwa mereka dapat bekerja secara optimal. Melalui kombinasi edukasi masyarakat, pemerataan fasilitas kesehatan, dan peningkatan kesejahteraan tenaga kesehatan, akan membawa manfaat bagi kesehatan gigi masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Dengan pendekatan ini, kita dapat membangun Indonesia yang lebih sehat, satu senyum pada satu waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H