Mohon tunggu...
Yonathan Lu Walukati
Yonathan Lu Walukati Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemalas yang kadang suka menulis

Panggil saja Jo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kakek Membaca Cerita Rakyat Sumba

29 Juli 2023   09:15 Diperbarui: 29 Juli 2023   09:18 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"I Rambu Kahi Kapuala," kata kakek saat membaca satu judul cerita rakyat Sumba dari bukunya bapa dosen, Retang Wohangara.

"Nggarra wanna ka na kapuala, bhoku?"

"Bhe ma-pongu dhuya ni. Ma-pongu nda lu-langa ya."

Hari masih teramat pagi, saat saya menawarkan untuk membaca buku yang baru saja saya peroleh beberapa waktu lalu. "Ninya na mbuku na ma pa-hillu humbangu, bhoku," kata saya saat kakek dan saya menikmati secangkir minuman penghangat berupa kopi dan teh untuk kami masing-masing. "Mbuhangu pa-mbaca ya?"

Tanpa menunggu aba-aba darinya, saya lalu pergi mengambil buku yang saya maksud. Segel pertama buku ini dibuka oleh kakek. Sebab, saat mengambil buku ini di SMP Katolik Anda Luri, hingga pagi tadi, saya belum ada waktu untuk membuka segel buku ini, lalu membaca isinya. "Ai ku-ngandi ayaka latti na kaca mata-nggu kangiau," sesal kakek saat menerima buku ini.

Waktu saya mengambil buku ini di ibu kepsek SMP Anda Luri tanggal 25 lalu, saya jelaskan bahwa buku ini pernah saya baca saat masih SMP dulu. Itulah sebabnya segel pertama buku edisi revisi ini saya berikan pada kakek untuk dibuka, lalu dibaca sebagai yang pertama. Kebetulan, kemarin kakek datang ke rumah untuk berobat ke Puskesmas. Maka, jadilah buku ini dibuka dan dibaca olehnya.

Seperti biasa, kakek adalah seorang pembaca buku yang tuntas. Maka, saat mendapat buku ini, hal pertama yang dibaca kakek adalah sambulnya. Lalu satu demi satu halaman depannya dibaca perlahan sampai pada daftar isi, termasuk yang berbahasa Inggris, walaupun dalam penulisan judulnya sama semua, yang membedakannya hanyalah dialeg Kambera pada terjemahan bahasa Sumba-nya.

"Mbaca pakiringu la i yohu bha, bhoku," kata saya menuntun. "La nomur tailu kambulu patu." Kakek kemudian membuka perlahan halaman buku ini sampai pada nomor yang dimaksud.

"I Rambu Kahi Kapuala," kata kakek saat membaca satu judul cerita rakyat Sumba dari bukunya bapa dosen, Retang Wohangara. Lalu paragraf pertama dilahapnya dengan tenang dan pelan. "Ai na tamba kalillangu na mata-nggu." Mata kakek sudah rabun. Ia memang masih bisa membaca buku, tapi harus jeda. Sebab, kata kakek, tulisan di dalamnya hilang.

Sambil menemanu kakek membaca buku ini, tiba-tiba bapak datang dari belakang. Ia mendengar cerita yang dibaca oleh kakek, yang, tiba-tiba berhenti karena matanya sudah tidak kuat lagi. Saya mencoba melanjutkan bacaan yang kakek baca. "Takka mia lai nggi-ka nikawai, bhoku?"

"Lai ni ka," balas kakek menunjukkan pada saya mana yang telah dibaca kakek. ""Ho...rambu Kahi, laku li ka u hpa-na," wdha-nya. Laku li," kata saya saat membacakan isi buku ini. Lalu, tiba-tiba bapa menimpali, "Ka nggi- ka yia na manu?" wanna?"

Saya kaget saat membaca isinya, ternyata sama persis seperti kata bapak. Padahal, setahu saya, bapak tidak bisa membaca. Namun, mengetahui ini, yakinlah saya bahwa kita, orang Sumba punya banyak cerita rakyat yang dituturkan turun-temurun. Namun, sayangnya cerita-cerita itu telah mati ditelan zaman. Aktivitas mendongeng sudah tidak dilakukan lagi, seperti yang dilakukan oleh generasi bapak saya.

Ada banyak Cerita Rakyat Sumba yang belum dituliskan, yang pada beberapa tempat, ceritanya sama persis seperti persisnya cerita Si Kancil dan Buaya milik Indonesia dan Malaysia. Pun demikian cerita-cerita lainnya yang mengandung pesan moral, tapi tidak lagi diceritakan atau bahkan dituliskan.

Tugas untuk mengenalkan Cerita Rakyat Sumba makin berat, apalagi kita sudah terbuai dengan perkembangan zaman. Para penuturnya juga sudah makin sepuh dan telah berpulang. Barangkali, ancaman kepunahan Cerita Rakyat Sumba akan mengikuti ancaman kepunahan Bahasa Kambera, bila tidak ditulis. Sebab, aktivitas mendongeng sudah jarang dan bahkan tidak ada lagi yang saya lihat. Namun, itu semua bisa diabadikan lewat tulisan.

Semoga ada orang-orang yang mau menulis Cerita Rakyat Sumba, mengikuti jejak bapa dosen, Retang Wohangara.

Terjemahan:
1. Apa sudah artinya kapuala, kek?
2. Itu artinya luka. Luka yang tak kunjung sembuh
3. Ada buku yang berbahasa Sumba, kek.
4. Mau dibaca?
5. Baca dari sini saja, kek.
6. Di nomor 34.
7. Mata saya berair.
8. Sudah sampai di mana tadi, kek?
9. Sudah sampai di sini
10. "Di mana sudah itu ayam," katanya?
.
.
: Prai Kilimbatu, 29 Juli 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun