Saya dengan bapak tidak banyak berbicara, tidak banyak bercerita. Sebagai anak muda yang masih sangat belia, saya akui itu, karena saya masih mengikuti idealisme yang ada dalam diri saya. Saya berkeyakinan, bahwa segala sesuatu yang bisa dipertanyakan, masih akan bisa untuk dijawab. Tentu saja jawabannya adalah jawaban yang masuk akal dan tidak mengikuti arus kebanyakan orang. Misalnya, percakapan kami awal November tahun kemarin, pagi-pagi sekali, percakapan pertama saya dengan bapak adalah 'njaka ndui', yang orang-orang kota mungkin lebih mengenalnya dengan istilah resesi ekonomi.Â
Resesi ekonomi oleh beberapa influencer, adalah penyakit yang harus ditakuti. Resesi ekonomi adalah dampak dari sebuah sebab yang tidak bisa dihindari. Dan, ya, harus diakui perputaran uang tidak berjalan dengan baik. Para penjual mengeluh karena kurang pembeli, para pembeli mengeluh karena uang tidak ada. "Aih, jhapu naka ahi na ndui na dha tau," kata bapak pasrah.Â
Meski demikian, kehidupan mesti terus berlanjut. Sekalipun ada konten-konten yang menebar ketakutan atas nama resesi ekonomi, kehidupan di pasar tetap berlanjut. Demikian juga dengan kehidupan di kampung-kampung yang tingkat interaksi jual-beli tidak seramai di pasar. Namun, mereka tetap berjualan. Yang membeli tetap membeli makanan. Tentu saja dengan melakukan siasat terlebih dahulu. Apalagi pemasukan minim, pengeluaran pun sebisanya diusahakan minim juga, namun tetap bisa menghidupi.
Orang-orang yang merasa takut justru mereka yang terpelajar, yang, dicekoki dengan konten-konten influencer penebar ketakutan. Masyakarat tetap menikmati makan sehari sekali. Karena ketakutan terbesar mereka adalah masih bisa makan hari ini atau tidak.
Perihal Mendidik AnakÂ
Mendidik anak itu, susahnya minta ampun. Selain repot, kau harus punya kesabaran yang tinggi. Sebab, fase kanak-kanak, adalah fase dimana mereka sangat aktif bermain dan bermain. Jangan mencegah mereka bermain, tapi perlu diingatkan agar dalam bermain, anak diajarkan sedikit demi sedikit mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Ini, barangkali bisa meminimalisir kenakalan mereka.
Biasanya, sejauh yang saya lihat, ketika ada anak yang bandelnya sudah tidak tertolong, orangtuanya kadang suka beralibi, "dia ikut bapaknya waktu kecil. Dulu, bapaknya nakal kayak begini juga," dan kalimat-kalimat lainnya yang bahkan dilebih-lebihkan. Padahal, bila sedikit saja menurunkan ego orangtua, kita bisa melihat nakalnya anak itu karena ada sebab. Dan, yang paling pertama adalah sebab didikan orangtuanya.Â
Anak yang nakal, lalu diberitahu oleh orangtuanya agar tidak nakal lagi, tapi karena anak sedang aktif-aktifnya, kata-kata orangtuanya tidak didengarkan. Lalu, solusi paling memungkinkan yang bisa dilakukan orangtuanya agar anak itu diam adalah dengan memukulnya. Kekerasan yang dilakukan orangtuanya itu, sakitnya memang hanya sesaat, tapi ingatan sang anak tentang orangtuanya yang jahat akan abadi.Â
Tapi ada satu hal yang, lagi-lagi, sejauh pengamatan saya, orangtua kerap menenangkan anaknya dengan gadget. Tiap kali lihat anak yang main main HP, menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk nonton YouTube, saya kadang bergumam sendiri, "jangan sampai anakmu diasuh oleh gadget." Pokoknya, jangan sampai itu terjadi. Namun, bila melihat kenyataan yang ada, yang pernah saya lihat langsung, orangtua anak tidak akan rela melihat anaknya menangis.Â
Maka, untuk menenangkan anaknya bila ia sedang menangis, diberilah HP. Disuruh nonton sampai puas. Anak senang nonton, orangtuanya senang karena tidak mendengar anaknya rewel. Namun, yang dilupakan oleh orangtuanya adalah, si anak ini telah diasuh oleh gadget. Ini kenyataan yang miris, tapi lagi-lagi, alasan yang paling sering saya dengar adalah, "mau bagaimana lagi? Mau anak ini menangis terus?"
.