"Sayen dan Konflik Agraria di NTT"
Sebut saja judulnya demikian. Walaupun, isinya tidak akan membahas kata-kata setelah konjungsi 'dan'. Dan, ya. Saya bingung memulainya dari mana. Namun, karena hari ini hujan dan bulan Juni masih tinggal sebentar lagi berakhir, saya akan memulai tulisan ini begini:
Hujan Bulan Juni benar-benar tiba hari ini. Ia datang sejak pukul empat telah menghabiskan setengahnya hingga pukul lima lebih sedikit. Cukup deras memang, tapi dirindukan oleh buciners sejati karena provokasi opa Sapardi.Â
Sepeninggalan Hujan Bulan Juni, sore menjadi benar-benar sepi. Pun demikian dengan dingin yang menghantui. Belum lagi senja pukul lima kesayangan orang-orang tidak lagi menampakkan diri. Maka, ngopi saja tidak cukup bagi saya untuk menghangatkan diri dari cengkraman dingin. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk nonton.Â
Kemudian, pilihan saya jatuh pada film Sayen, sebuah film besutan sutradara, Alexander Witt yang merupakan film bergenre Action Thriller. Sayen berkisah tentang seorang gadis yang membalaskan dendamnya dengan cara memburu orang-orang yang telah membunuh neneknya. Berbekal pengetahuannya tentang alam dan dibantu bakat pelatihannya, ia mampu membalas komentar dendamnya sekaligus menguak konspirasi sebuah perusahaan yang mengancam tanah leluhurnya.
Percakapan demi percakapan yang dimulai dari menit ke-14 hingga menit ke-18, seakan mengingatkan saya pada beberapa kasus investasi yang sangat menggiurkan di NTT, yang, tentu saja berkaitan dengan tanah adat atau tanah ulayat. Mari kita berandai-andai sambil menghitung banyaknya konflik agraria di NTT, konflik warga masyarakat adat dengan aparat, pelibatan pemuka agama untuk memuluskan geothermal, hingga pariwisata super premium yang hanya dinikmati orang-orang kaya.Â
"Tolong dipahami baik-baik. Kita semua akan untung," kata seorang pembeli kepada nenek Ilwen.Â
"Kalian membeli," jawab nenek Ilwen. "Kami bisa tinggal di sini." Kemudian dilanjutkan dengan bertanya, "kalian dapat apa dari ini?"
"Ekowisata berdasarkan preservasi," jawab seorang pemuda yang hendak membeli tanah hutan (Tanah Ulayat) milik komunitas di sana.Â
"Tapi, wisata tak pernah ekologis dan hutan melakukan preservasi sendiri," balas nenek Ilwen.
Pada film Sayen ini, kita disajikan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Bedanya, si Sayen yang adalah cucu dari nenek Ilwen membalas dendam. Bedanya lagi, di film ini tidak ada UU ITE yang Maha Karet itu. Tentu saja dalam film ini kita akan disajikan hal-hal menarik, yang, sebisanya, menurut saya, berkaitan dengan konflik-konflik yang dewasa ini, beberapa tahun terakhir terjadi di NTT.Â
Ada percakapan menarik dalam mobil sepulangnya dua orang, katakanlah calon investor itu dari rumah nenek Ilwen. Sebuah percakapan khas orang-orang serakah yang menginginkan sesuatu dengan segala cara. "Sudah lama mereka mempertahankan tanah mereka dan akan terus mereka lakukan," kata yang lebih tua. Kemudian, dibalas oleh pemuda itu begini, "kita lihat saja nanti. Semua orang punya harga. Termasuk kau dan aku. Pohon itu juga punya harga. Kita beri penawaran yang mereka suka. Sesederhana itu."
Ditekan oleh investor, Antonio, si pemuda yang pergi ke rumah nenek Ilwen untuk menawari tanahnya menjadi berpikir keras untuk menghalalkan segala cara guna mendapatkan tanda tangan persetujuan penjualan tanah dari nenek Ilwen. Segala usaha dan niat buruk mereka diketahui oleh Sayen, cucu nenek Ilwen yang ketika mereka pulang dari rumahnya, mengejar Antonio dan Lira karena ia mencurigai mereka.Â
Dalam kejarannya para calon investor itu, mereka tidak mendapati Sayen karena ia berlari begitu cepat. Namun, tujuan pelarian Sayen tidak lain dan tidak bukan adalah rumah neneknya, Ilwen. Para pengejarnya pun mendapatinya. Di sana, perdebatan terjadi. Sayen mengatakan kebohongan para pembeli tanah itu karena mereka membawa bor dan senjata demi emas dan kobalt yang ada di dalam tanah mereka.Â
Seperti halnya janji-janji investor lainnya, yang katanya mensejahterakan rakyat, persis yang terjadi di tanah leluhur kita tercinta, NTT, yang nyatanya malah sebaliknya, menyenangkan penguasa, lalu menyengsarakan masyarakat. Film ini menjelaskan hal serupa.Â
"Ada apa di bawah tanah ini? Kami punya hubungan suci dengan tanah ini. Kami tak butuh hubungan komersial. Kami hargai itu. Namun, kau datang dengan kebohongan, senjata dan tipuan. Beritahu ayahmu, kalau mau wanita ini tanda tangan, ia harus datang di sini, berlutut dan mencium bokongku. Pergi! Bereskan barang-barangmu. Tempat ini milik kami. Paham?"Â
Itu adalah kata-kata nenek Ilwen ketika menolak memberikan tanahnya pada para membeli, calon investor yang datang mengejar Sayen dengan senjata. Akibatnya, ia ditembak. Mati di tempat. Sayen pun berniat membalaskan dendamnya pada Antonio dan juga pada tentara bayarannya. Ia menelusuri hutan di Chili Selatan. Di sinilah letak konfliknya. Dalam perjalanannya membalaskan dendam ini, Sayen melewati banyak rintangan yang menghambat langkahnya.Â
Sementara itu, orang-orang Machi yang mengetahui nenek Ilwen mati dibunuh, berdemo pada perusahaan yang hendak membeli tanahnya. Sialnya, lagi-lagi ini mirip seperti yang terjadi di negeri kita tercinta. Bapaknya Antonio, si pengusaha yang menjadi investor itu, menghubungi gubernur lalu melapor lebih dulu.Â
Katanya, terjadi serangan oleh teroris. Padahal, yang mati adalah nenek Ilwen, pemilik tanah yang hendak mereka beli. Keberpihakan pemilik modal dan penguasa, tindakan represif aparat dan main asal tangkap, adalah gambaran buruk betapa investor adalah raja. Sedangkan masyarakat adalah pihak yang bisa dicari-cari kesalahannya.
Dalam demo tersebut, ada dua warga masyarakat yang ikut demo yang ditangkap aparat. Namun, berkat usaha salah satu teman mereka, dengan menggunakan senjata, akhirnya mereka dibebaskan. Di sini, ceritanya adalah masyarakat biasa bekerjasama saling melindungi demi tanah leluhur mereka yang akan dikeruk habis oleh perusahaan tambang.Â
Pada akhirnya, film ini hanya akan bermuara pada satu titik: Di mana ada relasi, di situ ada kuasa. Jadi, relasi kuasa itu tercipta, bukan hanya pada suami dan istri, anak dan orangtuanya, tetapi juga pada penguasa dan investor. Penguasa membutuhkan banyak uang, investor bisa melakukan apa saja dengan uangnya.Â
Orang-orang kecil, akan selalu ditempatkan pada tempat yang salah, apabila melindungi tanah milik sendiri. Sedangkan para perusak, pemberi modal itu, karena kuasa dan uangnya, selalu berjaya atas harkat hidup orang banyak. Sialnya, kita hidup di lingkungan yang penuh dengan hal semacam ini dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H