"Baru, masuk lewat mana suh?"
"Ada jalan masuk sebentar."
Desa Napu berjarak 67 kilometer dari Kota Waingapu, Ibukota Kabupaten Sumba Timur. Topografinya yang didominasi oleh padang sabana yang luas, membuat saya berandai-andai sepanjang perjalanan.Â
Andai jalanan di Jalur Pantai Utara ini semulus jalanan di Jalur Selatan, meski hanya sebagian, barangkali orang-orang yang merindukan kedamaian bisa menikmati perjalanan yang menyenangkan.Â
Barangkali juga, jiwa muda para pecandu selfie jalanan bisa menikmati keindahan sabana Napu yang dihiasi hewan-hewan gembalaan.
Dan, kami tiba di kantor desa Napu, setelah dalam perjalanan dikenyangkan buah Kalaga Jawa yang dipanjat langsung oleh tuan rumah.Â
"Sudah lama saya tidak naik pohon anonak," katanya. Maka, ia dengan senang hati memanjat pohon itu. Jika tidak, memori masa kecilnya akan terlindas begitu saja. Sebab, sudah lebih dari 10 tahun tidak panjat pohon.
Di kantor Desa, kami disambut oleh kepala desa Napu, Hendrik Hamba Pulu tepat sebelum memasuki kantor desa. Kemudian, di sinilah saya berada, mengikuti arah mata angin yang entah mau dibawa ke mana.Â
Tapi dalam cerita ini, saya dibawa oleh kk Martha Hebi dan kk Andani. Di tempat ini, tidak banyak cerita yang bisa saya rekam dalam otak saya, sebab, bayangan pertama saya adalah jalannya yang mulus, semulus yel-yel perubahan yang sering kita dengar itu.
Barangkali yang mendambakan perubahan itu berwujud oposisi. Barangkali berasal dari mereka yang tidak puas. Barangkali juga datang dari dahaga yang paling dalam, sedalam janji manis para peramu kebijakan.Â
Entah sebagai dongeng dalam dunia nyata atau sebagai kenyataan yang didongengkan, yang jelas, suara-suara perubahan selalu mengaung dan menggema.