Mohon tunggu...
Yonathan Lu Walukati
Yonathan Lu Walukati Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemalas yang kadang suka menulis

Panggil saja Jo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tradisi Kawin Mawin Suku Sumba: Belis atau Beli?

24 Oktober 2018   08:48 Diperbarui: 24 Oktober 2018   09:13 3094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://harianriau.co

Tradisi Kawin Mawin Suku Sumba Masa Kini: Belis atau Beli?

Sumba merupakan salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terbagi menjadi empat kabupaten: Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Meski demikian, masyarakat Sumba memiliki beragam tradisi yang secara turun-temurun telah diwariskan kepada generasi penerusnya. Tradisi-tradisi inilah yang menjadi magnet tersendiri bagi Sumba sehingga mampu mengundang turis baik lokal maupun manca negara untuk datang berkunjung ke Sumba. Dari sekian banyak tradisi masyarat Sumba, ada satu tradisi yang menarik bagiku untuk didiskusikan. Tradisi "Belis" namanya.

Belis merupakan tradisi penyerahan mas kawin oleh pihak pria kepada pihak wanita dalam pernikahan masyarakat Sumba. Penyerahan mas kawin tersebut dapat berupa hewan ternak seperti kuda, kerbau, babi. Selain itu, penyerahan belis juga dapat berupa mamuli(Sebuah simbol reproduksi wanita dalam identitas kebudayaan lokal), hingga Kain Sumba. 

Banyaknya belis tergantung pada kesepakatan dan status sosial daripada calon pengantin perempuan. Jika yang akan dinikahi adalah wanita dengan status sosial tinggi, maka hewan yang diberikan mencapai Puluhan ekor. Untuk rakyat biasa sekitar 5-15 ekor. Dan untuk ata (golongan/lapisan terendah dalam stratifikasi masyarakat Sumba), dibayar oleh maramba (tuan/bangsawan).

Mahalnya belis yang harus dikeluarkan oleh pihak mempelai pria tak menjadi persoalan sebab ada makna mulia yang tertanam dalam peristiwa belis ini, yaitu nilai yang menjunjung betapa berharganya seorang wanita. Namun, seiring berjalannya waktu, belis mengalami pergeseran makna karena  nilainya semakin tinggi dan irrasional. 

Hal ini juga menyebabkan kemiskinan yang struktural bagi sang mempelai (tidak termasuk keluarga mempelai wanita) karena belis dipolitisasi semata untuk memperkaya diri. Bahkan yang lebih parahnya lagi, kini dibuatkan stratifikasi pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seorang wanita, maka semakin besar pula belis yang harus ditanggung oleh mempelai pria. Sungguh stratifikasi yang sangat merugikan.

Jika demikian, maka dapat dibayangkan betapa mahalnya belis seorang wanita lulusan sarjana, bukan? Lantas, bagaimana jika sang mempelai wanita hanya lulusan SD? Apakah biaya belisnya lebih murah? Ya, pastinya besaran belis akan lebih sedikit daripada wanita lulusan sarjana tersebut. Lalu, makna apa yang didapatkan? Tidak ada. 

Sebab makna daripada budaya tersebut telah menjadi rusak karena disusupi kepentingan ekonomi dan prestise. Adat sudah bersolek menjadi "komoditi" ekonomi yangmana aturan-aturan adat sudah mengalami degradasi makna dan simbol karena lebih mementingkan mahar berwujud yang harus menjadi cash & carry. Semuanya penuh dengan unsur kepentingan. 

Adat yang seharusnya mempererat kekerabatan karena disatukan dalam pernikahan, malah merenggangkan jika negosiasi dari pihak mempelai pria untuk menurunkan harga belis gagal dilakukan.

Secara pribadi, saya memang tidak menolak belis, apalagi belis merupakan salah satu budaya/tradisi masyarakat Sumba yang secara turun-temurun telah diwariskan. Hanya saja, nilai belis yang secara turun-temurun itu telah mengalami degradasi atau penurunan. 

Belis bukan lagi sebagai penghargaan kepada perempuan, ataupun sebagai bentuk terimakasih kepada orang tua karena telah membesarkan anak perempuannya. Tetapi belis masa kini adalah sejenis bisnis keluarga, dimana terjadinya tawar menawar jumlah belis berdasarkan status sosial dan tingkat pendidikan perempuan.

Dan inilah yang saya tolak sebab budaya belis seakan-akan diperjualbelikan karena penggunaan stratifikasi pendidikan adalah realita dari kalkulasi ekonomi yang berwajah prestise dan gengsi. 

Ya, budaya belis masa kini telah kehilangan esensi dan makna yg sesunguhnya. Jika dulu, adat perkawinan masyarakat Sumba berjalan secara alamiah tanpa paksaan dan dipatuhi oleh seluruh komponen sosial masa itu, maka sekarang pemaknaan nilai bahwa pemberian belis merupakan penghargaan bagi kaum perempuan sudah berkurang atau bahkan tidak ada lagi. 

Sebab Besarnya belis yang memberatkan berdasarkan stratifikasi (pendidikan) ini memunculkan kesan bahwa pernikahan digunakan sebagai alat transaksi bisnis, dimana perempuan digunakan sebagai objek. 

Ini semua  hanyalah politik kotor yang dapat merusak esensi  daripada hakikat budaya kita orang sumba, bukan? Mau sampai kapan ini berakhir? Sampai kita dapat memaknai kembali akan makna belis itu.

So, mari kita bersama-sama untuk mengembalikan nilai-nilai adat yang sesungguhnya. Sebab, adat dibuat bukan untuk mempersulit manusia, melainkan untuk memetik makna yang tersembunyi didalamnya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun