Berempati dengan demikian membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang lain. Berusaha melihat seperti orang lain lihat, merasakan seperti orang lain merasakannya.
Di ranah media, jurnalisme empati juga sudah mulai dipraktikan para wartawan. Hal ini merujuk kepada seruan yang disiarkan oleh Dewan Pers dalam liputan seputar pandemi Covid-19 ini.Â
Diantaranya, dengan menyiarkan beragam fakta pemberitaan yang berimbang, akurat dan selalu menguji informasi. Termasuk menghindari pemuatan laporan yang hanya menambah kepanikan publik.Â
Dalam praktiknya, memang tergantung kondisi situasional. Tapi, secara umum, usaha membangun jurnalisme makna dengan membangun harapan dan optimisme warga, menjadi sebuah peran penting yang perlu diapresiasi.
Sementara, komunikasi empatik warga, sepertinya tak perlu diragukan lagi. Komunikasi empati publik bisa kita saksikan secara nyata melalui media sosial.Â
Warga secara sukarela saling memberikan edukasi, imbauan dan berbagi informasi mengenai beragam usaha agar pandemi Covid-19 tak terus berkembang (menular).Â
Termasuk, bagaimana secara pribadi melindungi diri sendiri agar terhindar dari  virus baru ini. Solidaritas nyata publik  juga tampak dengan donasi, penggalangan dana untuk kebutuhan alat kesehatan, terutama Alat Pelindung Diri (APD), juga berbagai makanan bagi warga yang membutuhkan
Dalam situasi kekhawatiran demikian, kabar bohong (hoaks) memang tak terhindarkan. Diantaranya, dengan munculnya misinformasi yang berarti salah informasi. Informasinya sendiri salah, tapi orang yang menyebarkannya percaya bahwa informasi itu benar.Â
Penyebaran informasi dilakukan untuk tujuan baik alias tak ada tendensi untuk membahayakan orang lain. Begitu juga disinformasi di mana penyebar informasi tahu kalau informasinya memang salah. Namun sengaja disebarkan untuk menipu, mengancam, bahkan membahayakan pihak lain.
Anita Wahid (2020), pegiat Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat dari seluruh hoaks terkait virus Corona yang ditemukan, hanya sekitar 27% yang ditindaklanjuti pemerintah.Â
Hal ini tentu disayangkan. Sebenarnya, hoaks ini bisa diatasi jika pemerintah menyampaikan informasi secara terbuka dan lengkap, karena ada kekosongan ruang publik dari pemerintah, maka masyarakat pun membuat tafsirnya masing-masing.