Banyak orang bicara Korona sebagai fakta. Ijinkan saya bicara Korona sebagai makna. Seperti memandang dunia dalam kacamata filsafat. Kata orang, filsafat adalah kegiatan reflektif. Seperti kata Adeline Tumenggung (2005) yang saya kutip dalam buku "Laba-Laba Media". Saya setuju. Kini, ada anjuran siapapun untuk bekerja dari rumah saja (Work from Home). Bagus sih. Setidaknya, ada usaha untuk menjauhi Korona.
Tapi, saya kira, saat ini waktunya orang berefleksi. Luangkan waktu satu atau dua hari perlu. Untuk berefleksi, berhenti "Bekerja". Kenapa? Sebab manusia tak melulu harus selalu melayani (mimpi) orang lain, lembaga atau perusahaan. Apalagi sekadar menjadi sekrup kapitalis atau sekadar budak-budak korporat. Saatnya merenung. Menjadi diri sendiri.
Anjuran menjadi diri sendiri ini telah difatwakan para filsuf jauh hari. Seperti misalnya dianjurkan oleh Soren Kierkegaard (1813-1855). Saya baca kisahnya dalam buku "Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri" karya Thomas Hidya Tjaya (2019). Kierkegaard adalah salah satu filsuf eksistensialis terbesar, selain Martin Heidegger dan Jean Paul Sartre. Buku Either/Or karyanya dengan sub-judul "The Unhappiest Man" memberikan pesan moral soal kebahagiaan dan ketidakbahagiaan dalam hidup. Dari petuahnya, disebutkan bahwa ketidakbahagiaan seseorang terjadi ketika meletakkan hal terpenting di luar dirinya. Ia selalu absen, tak pernah hadir bagi dirinya.
Menjadi diri sendiri pada akhirnya persoalan bagaimana menjadi manusia yang sebenarnya. Ini juga belum selesai. Dalam pergulatan memandang Korona, setidaknya pergulatan itu merasuki dua sisi, pragmatis atau humanis. Yang pertama, pragmatis adalah pola pikir jangka pendek untuk menyelamatkan diri sendiri. Yang kedua, humanis terkait dengan bagaimana orang tak melulu memikirkan diri sendiri, tapi mencoba berempati kepada orang lain dan selanjutnya bisa berkontribusi sebaik mungkin. Kita harus jujur pada diri sendiri, kita termasuk yang mana?
Selanjutnya, Ibn Bajjah, filsuf muslim pertama Spanyol, seperti ditulis Ma'an Ziyadah dalam buku "Ibn Bajjah: Rezim Sang Failasuf" pernah mengatakan bahwa mayoritas masyarakat berada di dalam kegelapan bentuk-bentuk korporeal (bentuk) fisik, dan hanya sedikit manusia yang kuasa melihat cahaya sekaligus meraih kesempurnaan, kebahagiaan dan keabadian.Â
Sementara, filsuf Abdul Hadi WM penulis buku "Kembali Ke Akar, Kembali Ke Sumber" menjelaskan tujuan Islam membawa penganutnya dari kegelapan menuju cahaya tauhid. Perjuangan dari kegelapan menuju cahaya ini yang kemudian disebut dengan pencerahan. Pencerahan seperti apa? Dari "Yang Banyak" menuju "Yang Satu". Dari yang sifatnya sementara menuju yang kekal dan abadi.
Dari sekilas dedahan di atas, menjadi penting bagaimana kita benar-benar bisa memaknai tragedi Korona ini hanya dengan berusaha menjalin komunikasi transendensi (Berdimensi KeTuhanan). Menjalin komunikasi pada Sang Maha Pencipta manusia. Itu sebabnya, dalam praktiknya, keberhasilan kita memaknai Korona saya kira menjadi tergantung pada pertanyaan kecil ini.Â
Apakah dengan tragedi Korona, manusia, khusunya seorang muslim lebih mencintai agama? Semakin dekat dengan Tuhan, atau sebaliknya malah menjelek-jelekan agama sambil bertindak non humanis, hanya memikirkan keselamatan diri atau bisnisnya sendiri? Silakan renungi bersama. (Yons Achmad. Praktisi Komunikasi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H