Saya tertarik dengan gaya berpolitik Anas Urbaningrum. Terutama terkait dengan perlawanannya terhadap SBY. Ya, setelah dia berhasil merebut kursi ketua umum Partai Demokrat. Lalu, “dipaksa” turun oleh pendirinya, tak lain tak bukan SBY orangnya. Anas, melawan dengan caranya sendiri. Dengan perlawanan yang khas dan menarik untuk dicermati lebih jauh.
Anas, bagi SBY barangkali memang “anak haram” yang tak direstui kelahirannya. Tapi, Anas adalah tokoh politik yang dengan kapasitas intelektual serta dukungan loyalisnya bisa membalik keadaan. Dari elit partai pada umumnya, lantas secara mengejutkan berhasil menjadi ketua umum Partai Demokrat, partai penguasa saat ini (setidaknya sampai 2014).
Namun, sayangnya kedudukan sebagai ketua umum partai tak lama. Anas dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK atas kasus korupsi. Tapi Anas sepertinya tahu betul, dia sedang disingkirkan. Dan Anas tak tinggal diam, dia melawan terhadap keadaan, dan juga tentu saja melawan SBY, sosok yang banyak orang menduga sebagai dalang dibalik tenggelamnya Anas di panggung politik. Dari ketua partai ke penjara.
Terlepas dari semua itu, satu gaya menariknya adalah soal retorika politik yang cukup lihai dimainkan. Dalam memainkan retorika politik, satu ciri yang menonjol adalah kemampuan Anas dalam melakukan pengelolaan kesan (impression management) atas dirinya. Sebuah buku klasik berjudul “Stigma” karya Erving Goffman (1963) bisa menjelaskan bagaimana gaya perlawanan Anas ini terhadap SBY.
Menurut Goffman, permainan pengelolaan kesan ini sebagai upaya untuk menyamarkan atau mengabaikan cacat tokoh (politik) tertentu saat berinteraksi dengan yang lainnya. Tak hanya itu, dalam prakteknya upaya ini tidak hanya sebagai untuk menghilangkan cacat semata, tetapi lebih kepada usaha untuk menciptakan suatu image tertentu dalam lingkup sosial (politik). Nah, meminjam konsep Goffman ini, apakah perlawanan Anas terhadap SBY berhasil? Kita lihat.
Setidaknya, beberapa kali Anas mencoba melakukan perlawanan atas keadaan yang menimpa dirinya. Sebuah perlawanan wacana yang dikemas dengan pesan-pesan tertentu yang kemudian banyak diberitakan di berbagai media. Status BBM Anas soal “Politik Sengkuni” begitu heboh jadi pemberitaan media, begitu juga sindirian-sindirannya lewat sosial media (twitter), terakhir, saat ditahan KPK, dengan baju kebesaran “Oranye” nya Anas berucap terimakasih kepada SBY, sebuah ucapan yang multitafsir memang. Hanya intinya, semua yang dilakukan Anas itu adalah upaya sistematis untuk membuat kesan baik dirinya di mata publik. Apakah ini akan berhasil?
Dalam konteks perang wacana (media), perang opini, apa yang dilakukan Anas tersebut tentu saja sebuah permainan yang cantik dan cukup punya daya tarik sendiri. Apalagi hampir semua media juga rupanya bersimpati dengan menyebut Anas dengan sebutan “Mas Anas”. Sementara, dukungan para loyalis Anas juga punya peran untuk selalu membangun citra positif Anas. Sejauh ini, kisah Anas belum berakhir. Hanya, tentu saja semuanya akan tergantung pada keputusan pengadilan (KPK). Kalau ternyata nantinya semua terbukti bahwa Anas bersalah, habis sudah. Politik citra, retorika secantik apapun akan sulit mengembalikan citra positif dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H