Daendels adalah seorang sekuler. Hal ini dapat dilihat pada keputusannya memisahkan kekuasaan negara dan kekuasaan agama. Meskipun demikian, lembaga-lembaga agama tetap disubsidi, dengan demikian, Agama Katolik jugakembali diperbolehkan berkembang di Nusantara.
5. Perombakan Sistem Peradilan
Daendels merombak organisasi dan praktik pengadilan Batavia dengan melakukan pemisahan kelompok penduduk yang berbeda dalam urusan peradilan. Pengadilan berada mulai dari tingkat kabupaten hingga Prefektorat yang anggotanya terdiri dari Bumiputera dan dua orang Belanda. Pengadilan-pengadilan ini akan menghakimi setiap kasus yang melibatkan orang Jawa berdasarkan hukum adat dan istiadat Jawa. Sementara itu, semua kasus yang melibatkan orang asing (orang Eropa, Cina, Arab, Bumiputera non Jawa) akan ditangani oleh Dewan Peradilan berdasarkan undang-undang Hindia Belanda. Pengadilan ini didirikan di Batavia, Semarang, dan Surabaya (Vlekke, 2008:275-285).
5. Pengisian Kas Negara untuk Pembiayaan Negara
Semua langkah Daendels dalam bidang pertahanan, administrasi negara, dan sisitem peradilan tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi komoditas perdagangan dari dalam negeri tidak bisa dijual dan menumpuk di gudang pelabuhan akibat blokade laut yang dilakukan Inggris.
Daendels kemudian mencari cara lain,salah satunya adalah dengan menghidupkan kebiasaan lama VOC, yaitu menjual tanah kepada pihak swasta dan memberikan hak kepemilikan. Daendels sebenarnya banyak menjual tanah luas di wilayah barat dan timur Batavia, akan tetapi, transaksi terbesarnya adalah penjualan seluruh wilayah yang kini bernama kabupaten Probolinggo di Jawa Timur kepada orang Cina, Han Ti Ko sebesar tiga setengah juta gulden.
Reaksi Terhadap Kebijakan Daendels dan Berakhirnya Pemerintahan Daendels
Reaksi terhadap beberapa kebijakan Daendels yang memberatkan penguasa lokal terjadi di beberapa daerah, dan yang paling keras terjadi di Banten. Pekerja rodi yang menolak membangun pelabuhan Merak melarikan diri ke hutan. Residen Banten yang datang menuntut pertanggungjawaban Sultan, dibunuh sehingga menyebabkan Daendels marah besar. Istana Sultan Banten dihancurkan dan hartanya dijarah. Sultan ditangkap dan dibuang ke Ambon. Daendels kemudian menunjuk keponakan Sultan sebagai penggantinya.
Hal yang sama juga terjadi di Yogyakarta, ketika Sultan Hamengkubuwono menolak diangkatnya Danurejo II sebagai Patih. Sultan Hamengkubuwono malah mengangkat Pangeran Natakusumah yang menyebabkan Daendels menggempur Yogyakarta pada tanggal Desember 1810. Sultan Hamengkubuwono II diganti oleh putranya (Hamengkubuwono III) dan Belanda mendapatkan ganti rugi biaya perang sebanyak 500.000 gulden.
Pengaruh kebijakan yang diterapkan oleh Daendels dalam bidang politik sangat berbekas, terutama mengenai kebijakan penghapusan upacara kehormatan Raja-raja di Jawa yang menimbulkan menimbulkan kebencian mendalam, baik dari kalangan penguasa daerah, rakyat, maupun orang-orang Belanda sendiri. Keputusan Daendels yang menghapus penghapusan penghormatan kepada Raja-raja di Jawa dianggap sebagai perendahan martabat. Daendels seperti meruntuhkan teori kekuasaan masyarakat Jawa yang menitikberatkan pada simbolisme raja sebagai sentral kekuasaan. Kebencian rakyat terhadap Daendels disebabkan penyerahan paksa tanaman kopi dan kerja rodi tanpa upah untuk pembangunan jalan raya pos yang menimbulkan kerugian materi serta korban jiwa. Sementara itu, para pembesar Belanda yang juga membenci Daendels antara lain seperti gubernur pesisir timur laut Jawa (wilayahnya mencakup Cirebon sampai ujung timur Jawa), Nicolaas Engelhardt yang jabatannya dihapus Daendels, panglima angkatan laut Arnold Adriaan Buykens dan Letkol Johannes van den Bosch yang dipecat hanya gara-gara Daendels jengkel kepada keduanya (Prakitri, 2006:89-96).
Pada tahun 1810, Kaisar Napoleon mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa negeri Belanda masuk ke dalam Imperium Prancis. Berita itu sampai ke Hindia Belanda dan disambut dengan senang hati oleh Daendels. Meskipun demikian, akibat tindakannya yang terlalu otoriter, maka Napoleon memutuskan untuk memanggil pulang Daendels pada tahun 1811 dan menggantikannya dengan orang yang lebih moderat, yaitu Jan Willem Janssens. Daendels meninggalkan Jawa ketika sistem pertahanan yang dirintisnya belum kuat, sehingga pada tanggal 18 September 1811, Janssens menyerah akibat serangan dari Inggris. Peta kekuasaan pun akhirnya berpindah tangan dari Belanda ke Inggris, sehingga dengan demikian, Hindia Belanda praktis menjadi milik Inggris. Pada saat pemerintahan Inggris inilah, muncul suatu periode baru dalam sejarah Hindia Belanda, yaitu periode Liberal.
DAFTAR RUJUKAN
Prakitri, S. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas.