Mohon tunggu...
Yones Guntoro Aji
Yones Guntoro Aji Mohon Tunggu... Mahasiswa - Magister Bioteknologi - Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Lulusan sarjana teknologi pangan sekaligus mahasiswa baru magister bioteknologi di era Covid

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pemanfaatan Jamur Armillaria Mellea Sebagai Enzim Fibrinolitik Pendegradasi Fibrin

17 Juni 2022   16:00 Diperbarui: 17 Juni 2022   16:06 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1  Trombosis dalam pembuluh darah (https://www.emedicinehealth.com/blood_clot_in_the_legs/article_em.htm)

Adakah di antara kalian yang belum mengetahui apa itu trombosis? Trombosis merupakan pembentukan gumpalan darah di dalam pembuluh darah. Sebenarnya proses pembekuan darah yang membuat gumpalan tersebut normal terjadi pada manusia, salah satunya untuk respon pembekuan darah ketika terluka sehingga darah tidak keluar terlalu banyak dan luka menjadi cepat kering. Namun pembekuan darah yang tidak normal justru dapat berakibat sebaliknya, bukannya menguntungkan malah justru merugikan. [1] [Gambar 1]

Peristiwa trombosis menjadi merugikan ketika gumpalan darah yang terbentuk berada pada vena dalam (disebut deep vein thrombosis) dan juga arteri koroner (disebut coronary thrombosis). Gumpalan darah tersebut, atau yang disebut dengan istilah trombus, akan memperlambat dan menyumbat aliran darah. Trombus pada area tersebut akan menyebabkan aliran darah menuju organ menjadi terhambat atau bahkan tidak terpasok sama sekali. Akibatnya menjadi lebih fatal ketika tujuannya adalah organ vital, seperti jantung, paru-paru, dan otak. [2] [Gambar 2]

Gambar 2 Trombus pada pembuluh darah ke jantung (https://thrombosis.org/patients/what-is-thrombosis/)
Gambar 2 Trombus pada pembuluh darah ke jantung (https://thrombosis.org/patients/what-is-thrombosis/)
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa peristiwa trombosis tidak melulu baik, bahkan dapat berakibat fatal. Lantas seberapa parahnya kasus ini? Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention), sebanyak 100.000 orang meninggal akibat trombus. Selain itu, kasus ini bisa menguras hingga $20.000 per orang (sekitar 295 juta rupiah) untuk penanganannya. [3]

Gejala yang biasanya dirasakan pada kasus ini seperti nyeri dada, sesak nafas, pusing, kulit pucat, hingga stroke. Hal ini disebabkan karena aliran darah yang tidak lancar ke area tersebut. Karena itu, diperlukan adanya penanganan untuk menghindari kejadian yang bisa berakibat fatal. Salah satu yang paling umum dilakukan yaitu dengan pemberian obat antikoagulan yang berfungsi untuk menghambat penggumpalan darah. Contoh obat yang sering diberikan adalah warfarin (pemberian melalui oral) dan heparin (pemberian melalui suntikan atau injeksi). [4]  [Gambar 3]

Gambar 3 Warfarin dan heparin (https://medssafety.com/heparin-vs-warfarin-similarities-differences-which-works-faster/)
Gambar 3 Warfarin dan heparin (https://medssafety.com/heparin-vs-warfarin-similarities-differences-which-works-faster/)
Meskipun sudah umum dan digunakan sejak lama, obat antikoagulan ini diklaim tidak bisa memecahkan trombus yang sudah terbentuk, sifatnya hanya mencegah dan menghambat agar tidak semakin parah. Selain itu, obat-obat ini dinilai juga memiliki efek samping yang membuat penggunanya tidak nyaman. Maka dari itu, kini banyak penelitian yang mencari alternatif dari pengobatan trombosis, salah satunya melalui eksplorasi enzim fibrinolitik. [5] 

Mekanisme kerja enzim fibrinolitik yaitu dengan melakukan hidrolisis atau pemecahan dari fibrin yang tidak terlarut, atau dikenal dengan istilah fibrinolisis. Fibrin ini harus dihidrolisis karena merupakan penyusun dari trombus, si penyebab trombosis. Sebenarnya tubuh juga memiliki agen yang secara natural bertugas untuk degradasi fibrin, yaitu plasmin. Idealnya, pembentukan fibrin dan degradasinya bersifat seimbang sehingga pembekuan darah bersifat fungsional. Namun jika terjadi kelainan, seperti genetik serta pola makan dan pola hidup tidak sehat, dapat menyebabkan pembekuan atau trombosis ini terjadi secara berlebihan. [6] [7]

Dalam artikel ini akan diangkat publikasi dari tim peneliti Sook-Young Lee mengenai pemanfaatan Armillaria mellea untuk dieksplorasi enzim fibrinolitiknya yang dikenal dengan Armillaria mellea metalloprotease (AMMP) dan potensinya sebagai agen anti trombosis. [8]

Armillaria mellea umumnya dikenal juga dengan sebutan jamur madu. Jamur ini sering juga dijuluki sebagai gardeners nightmare atau mimpi buruk pekebun karena bersifat parasit terhadap tumbuhan utamanya. Meskipun begitu jamur ini dapat dimakan oleh manusia setelah melalui perebusan. [9] Di samping itu, pemanfaatannya sebagai sumber enzim fibrinolitik memberikan nilai positif tersendiri.  [Gambar 4]

Gambar 4 Armillaria mellea sebagai parasit pohon (https://www.freepik.com/premium-photo/bunch-armillaria-mellea-mushrooms-autumn-forest-grows-tree-tru
Gambar 4 Armillaria mellea sebagai parasit pohon (https://www.freepik.com/premium-photo/bunch-armillaria-mellea-mushrooms-autumn-forest-grows-tree-tru

Dalam prosesnya, tim peneliti menggunakan bagian miselium dari jamur madu tersebut. Setelah diinkubasi pada suhu 25 ºC, miselium tersebut dicuci dan dihancurkan menjadi bentuk serbuk. Bentukan serbuk inilah yang digunakan tim peneliti sebagai sampel dalam pengujian efikasi enzimnya. [8]

Sampel ini berhasil dimurnikan melalui tiga tahapan kromatografi, yaitu teknik yang biasa digunakan untuk pemisahan molekul dalam sampel. Pertama melalui kromatografi pertukaran ion menggunakan carboxymethyl cellulose. Kedua, hasil dari kromatografi tersebut dilakukan pemisahan kembali dengan kromatografi filtrasi gel menggunakan Sephadex G-75. Kemudian pemisahan terakhir dilakukan dengan kromatografi afinitas menggunakan Superdex 75. Hasilnya dari 1000 g sampel Armillaria mellea didapatkan sebanyak 0,4 mg enzim fibrinolitik Armillaria mellea metalloprotease (AMMP). [8] [Gambar 5]

Gambar 5 Hasil pemurnian enzim fibrinolitik AMMP (Lee et al. 2005)
Gambar 5 Hasil pemurnian enzim fibrinolitik AMMP (Lee et al. 2005)

Setelah dikarakterisasi, enzim AMMP ini memiliki berat molekul sebesar 21 kDa melalui verifikasi SDS PAGE (sodium dodecyl sulfate polyacrialmide gel electrophoresis) dan FPLC (Fast Protein Liquid Chromatography). [8][Gambar 6]

Gambar 6 Karakterisasi berat molekul AMMP (Lee et al. 2005) 
Gambar 6 Karakterisasi berat molekul AMMP (Lee et al. 2005) 

Aktivitas dari AMMP kemudian diuji diberbagai kondisi pH dan suhu. Enzim ini stabil pada rentang pH 5 hingga 8, dan memiliki aktivitas maksimal di pH 6. Sedangkan untuk suhu optimalnya, enzim ini memiliki aktivitas terbaik di suhu 33 °C. Meskipun demikian, enzim ini tetap dapat bekerja di rentang pH dan suhu yang cukup luas, yaitu pH 2 hingga 10 serta suhu 20 hingga 80 °C. Namun tentunya aktivitas dari AMMP ini akan menurun bila di luar kondisi pH dan suhu optimalnya. [8] [Gambar 7]

Gambar 7 Nilai pH dan suhu optimal untuk aktivitas enzim AMMP (Lee et al. 2005)
Gambar 7 Nilai pH dan suhu optimal untuk aktivitas enzim AMMP (Lee et al. 2005)

Pada kondisi pH dan suhu optimal tersebut, AMMP dicoba kemampuannya dalam menghancurkan fibrin. Aktivitas enzim ini mampu menghancurkan semua ikatan dari struktur fibrin, yaitu rantai ɑ, rantai β, dan rantai ℽ. Efikasi ini terlihat dari hasil SDS PAGE. Setelah 2 jam pemberian AMMP, fibrin berkurang secara drastis. Dan fibrin berhasil hilang sempurna setelah 12 jam sejak pemberian [8] [Gambar 8]

Gambar 8 Kemampuan menghancurkan struktur fibrin oleh AMMP (Lee et al. 2005) 
Gambar 8 Kemampuan menghancurkan struktur fibrin oleh AMMP (Lee et al. 2005) 

Tim peneliti juga mengidentifikasi senyawa logam yang mampu menurunkan atau meningkatkan aktivitas fibrinolitik dari AMMP. Diketahui bahwa senyawa yang mampu menghambatnya yaitu kelompok protease inhibitor, Co2+, Cu2+, Fe2+, dan Zn2+. Adapun senyawa yang mampu meningkatkannya yaitu oleh Ca2+ dan Mg2+. Peningkatan yang terjadi dapat mencapai 26 persen. [8] [Gambar 9]

Gambar 9 Pengaruh ion logam terhadap aktivitas fibrinolitik AMMP (Lee et al. 2005)
Gambar 9 Pengaruh ion logam terhadap aktivitas fibrinolitik AMMP (Lee et al. 2005)

Maka dari itu, sebagai kesimpulannya, enzim fibrinolitik AMMP dari Armillaria mellea berpotensi sebagai alternatif agen terapetik untuk penanganan trombus. Terlebih lagi, rentang pH darah manusia berada di 7,35 hingga 7,45 yang mana kondisi ini masih merupakan rentang pH dari aktivitas AMMP. [10] Suhu tubuh manusia juga berkisar di angka 36,5 hingga 37 °C, yang juga masih merupakan rentang suhu dari aktivitas AMMP. [11]  Selain itu, pemberian pangan kaya kalsium dan magnesium juga berpotensi meningkatkan aktivitas dari enzim ini, seperti susu, sayuran hijau, ikan, dan kacang-kacangan.

Magister Bioteknologi - Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Yones Guntoro Aji / 202100050006

Caroline Mega Artha / 202100050012

Sumber Referensi

[1] Gifford S, Sarr M, Kamath P. 2015. Treatment of mesenteric venous thrombosis. Di dalam: Oderich GS, editor. Mesenteric vascular disease: current therapy. New York (US): Springer. 

[2] Piazza G, Goldhaber SZ. 2010. Venous thromboembolism and atherothrombosis an integrated approach. Circulation. 121 (19): 2146-2150.

[3] Centers for Disease Control and Prevention. 2022. Venous thromboembolism: impact of blood clots on the United States. United States Department of Health and Human Services. 

[4] Joyce LK, Evelyn RH. 1996. Farmakologi. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC.

[5] Kumar SS, Sabu A. 2019. Fibrinolytic enzymes for thrombolytic therapy. Advances in Experimental Medicine and Biology. 1148: 345-381.

[6] Holden RW. 1990. Plasminogen activators: pharmacology and therapy. Radiology. 174: 993-1001.

[7] Voet D, Voet JG. 1990. Biochemistry. New York (US): Wiley. 

[8] Lee SY, Kim JS, Kim JE, Sapkota K, Shen MH, Kim S, Chun HS, Yoo JC, Choi HS, Kim MK, Kim SJ. 2005. Purification and characterization of fibrinolytic enzyme from cultured mycelia of Armillaria mellea. Protein Expression and Purification. 43: 10-17.

[9] Phillips R. 2010. Mushrooms and other fungi of North America. Buffalo (US): Firefly Books.

[10] Hopkins E, Sanvictores R, Sharma S. 2022. Physiology, acid base balance. Florida (US): StatPearls Publishing. 

[11] Hutchison J, Ward R, Lacroix J, Hebert P, Barnes M, Bohn D, Dirks P, Doucette S, Fergusson D, Gottesman R, Joffe A, Kirpalani H, Meyer P, Morris K, Moher D, Singh RN, Skippen P. 2008. Hypothermia therapy after traumatic brain injury in children. The New England Journal of Medicine. 358 (23): 2447-2456. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun