Foto: Ilustrasi/Dokumen Pribadi
*Saya kadang geli melihat postingan dan caption orang-orang di media sosial seperti facebook, instagram, whatsapp. Lebih khusus caption mengenai pencapaian belajar seseorang, misalnya mahasiswa yang sudah diwisuda. Pada saat mahasiswa menyelesaikan studinya di perguruan tinggi ada banyak orang (mungkin keluarga, temannya) mengucapkan selamat atas pencapaian tersebut.Â
Biasanya foto sang yubilaris  dipajang di media sosial dan pada foto tersebut diberi caption bermacam-macam. Ya, caption tersebut sekiranya tidak lebih dari ucapan selamat atas wisuda itu sendiri. Dan intinya jika proses belajar pada level perguruan tinggi sudah usai, tentu wajib hukumnya diselebrasi dengan porsi yang pas.
Kembali pada caption tadi, ada jenis caption yang menurut saya mengganggu dan menjadi alasan (ide, motivasi) hingga tulisan ini dibuat. Tidak salah jika saya (dan mungkin Anda) sekali-sekali kembali meluruskan  dan membedah yang keliru seputar caption di media sosial terkait wisuda. Contoh caption tersebut misalnya "Selamat atas diwisudanya Saudara/i...Selamat Datang di Dunia Nyata".Â
Pada hemat saya, kalimat "Selamat Datang di Dunia Nyata"  adalah keliru. Dari caption tadi tersirat suatu penilaian bahwa, pendidikan (baca; sekolah) menurut mereka  semacam dunia konsepsi, khayalan, angan-angan, cita-cita. Mereka melihat dan menilai sekolah seperti sisi lain dari dunia realitas. Atau mungkin karena cara pandang yang sempit dan didukung doktrin-doktrin tertentu.
Hemat saya dunia pendidikan dan kehidupan itu sendiri suatu hal yang tak bisa dipisahkan. Kehidupan mahasiswa adalah kehidupan yang nyata, hic et nunc. Meminjam istilah keren dari filsuf dan pujangga Romawi Kuno, Seneca "Non Scholae Set Vitae Discimus" bahwa kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup. Jadi secara sederhana pendidikan adalah kehidupan itu sendiri dan kehidupan bagian dari pendidikan dengan beragam fakultas di dalamnya.
Selanjutnya tentang kehidupan yang nyata dapat dilihat dari konsep dan penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi (yang meliputi; belajar mengajar, penelitian, pengabdian) di segala bidang kehidupan. Tri Dharma sebagai contoh bentuk dialetika kehidupan yang nyata, ruang gerak Tri Dharma lebih dari pada persiapan bekal masa depan. Unit kegiatan pendukung lainnya turut membentuk kehidupan mahasiswa. Unit kegiatan dikelola sedemikian rupa, sehingga ujung-ujungnya minat, bakat (menyanyi, menulis, membaca, melukis, menari, olah raga, hobi lainnya) disalurkan dengan baik. Pada fase ini,kegiatan yang bervariasi itu tentunya menyenangkan (variato delectate).
Selama berada di bangku kuliah, mahasiswa  bukan saja mempelajari atau menyelesaikan kredit-kredit mata kuliah yang diberikan setiap semester. Tapi dalam proses belajar bagaimana mahasiswa menghadapi persoalan-persoalan yang ada dengan posibilitas solusi yang ditawarkan. Pada fase ini refleksi ataupun pertanyaan mendasar dari seorang filsuf  Karl Raimund Popper terjawab. Refleksi dari Popper pada masanya adalah, bagaimana kiblat pendidikan ke depan (sekarang, yang akan datang).
Selanjutnya, ditinjau dari hakekat pendidikan dalam prespektif John Dewey tujuan sekolah adalah bukan agar peserta didik (mahasiswa) mengingat serangkain pengetahuan, tetapi agar mereka belajar bagaimana belajar agar supaya mereka dapat menyesuaikan dunia yang berubah secara terus menerus pada masa sekarang dan yang akan datang. John Dewey adalah salah seorang tokoh pragmatisme modern.
Dari sudut pandang epistemologi kaum pragmatis, (maha)siswa adalah orang yang mempunyai pengalaman (George R. Knight 1982: 66). Ia seorang individu berpengalaman yang mampu menggunakan kecerdasannya untuk memecahkan situsasi-situasi problematik. Bagi kaum pragmatis, pengalaman sekolah adalah bagian dari hidup lebih dari pada persiapan untuk hidup.
Kembali pada penerapan Tri Dharma, bagaimana mahasiswa menyelesaikan segala persoalan yang ada melalui penelitian. Menurut Leedy (Junaedi, 2010) penelitian adalah suatu proses untuk mencapai jawaban terhadap suatu pernyataan, penyelesaian permasalahan terhadap suatu fenomena yang memiliki ciri sistematis dan faktual. Selanjutnya pergerakan sekolah dan kehidupan yang nyata itu sendiri dapat ditinjau dari 'pengabdian'kepada masyarakat, KKN (kuliah kerja nyata). Maka benar, apa yang dipandang kaum pragmatis tadi bahwa sekolah adalah bagian dari hidup lebih dari pada persiapan untuk hidup.
Pada fase ini, Â lanjutan apa yang ditulis filsuf Karl Raimund Popper sangat relevan . Tulisan lengkap Popper seperti ini "We are not students of some subject matter, but the students of problem". Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan "Kita bukan mahasiswa beberapa mata kuliah saja, tetapi mahasiswa persoalan-persoalan". Popper melihat hidup manusia (termasuk mahasiswa tadi) sebagai persoalan yang harus dan selalu memiliki posiblitas untuk dipecahkan (all life is problem solving). Refleksi, pandangan, gagasan merujuk pada satu arah bahwa "Sekolah Bukanlah Transisi Menuju Kehidupan Yang Nyata" dan sudah menjadi judul dalam tulisan ini.