Banyak orang mengatakan bahwa air itu sebagai sumber kehidupan. Supaya air tetap tersedia bagi generasi lintas generasi, maka pentingnya menjaga sumber mata air itu sendiri. Sekurang-kurangnya dengan memperhatikan keberlanjutannya, menjaga kebersihan, menanam pohon sekitar dan masih banyak lagi
Sebagai orang Manggarai (Flores), air juga memiliki filosofi tersendiri pada fase hubungan sebuah ‘keluarga’. Ada istilah dalam bahasa Manggarai tentang hubungan melalui filosofi ‘Wae Teku Tedeng’. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ‘air yang ditimba untuk selamanya’
Lalu pada saat apakah istilah ‘Wae Teku Tedeng’ itu diucapkan. Adakah moment-moment khusus istilah tersebut diucapkan?
Sekurang-kurangnya, orang Manggarai menggunakan kiasan atau goe't ‘Wae Teku Tedeng’ pada saat urusan adat yang dimana pihak keluarga mempelai (pria, wanita) bertemu untuk membahas (baca; menyelesaikan) ‘urusan adat’ dari sepasang suami istri, ataupun calon suami istri
Pada fase seperti ini, biasanya pihak ‘anak rona’ (keluarga wanita, pemberi anak/ family giver) meminta belis (mahar) kepada pihak ‘anak wina atau woe’ (keluarga pria, penerima anak/family receiver) melalui ‘tongka’ (juru bicara) dihari yang sudah ditentukan sebelumnya
Bilamana belis yang diminta oleh pihak anak rona kepada anak wina dipasang dengan nilai tinggi. Maka pihak anak anak wina, berhak untuk menegosiai harga yang diminta dan disesuaikan dengan keadaan pihak anak wina itu sendiri.
Pada momen seperti ini biasanya, situasi agak panas. Karena yang diuji seperti kemampuan finansial pihak anak wina, kemampuan juru bicara dalam proses negosiasi, permintaan kedua orang tua yang bersangkutan dan urusan lainnya
Jika pada proses negosiasi belum ada titik temu, maka juru bicara (tongka) dari pihak anak wina, bernegosiasi dengan konsep ‘filosofi air’. Artinya keluarga itu dianalogikan seperti sumber mata air yang selalu mengalir tanpa henti. Tidak seperti ‘air tuak; wae tuak’ yang sewaktu-waktu akan cepat habis
Pada titik ini (harapan), yang dibutuhkan adalah belas kasihan dari pihak anak rona (keluarga wanita). Pihak anak wina (keluarga pria) sangat menyadari bahwa, keluarga jauh lebih penting daripada belis. Jangan sampai masalah belis hubungan pasangan suami, istri, yang dikorbankan
Demi keharmonisan keluarga, tentunya pihak anak rona akan menerima permohonan dari anak wina dengan ‘persyaratan tertentu’. Dan semuanya tersirat dalam aneka goe’t yang ada di “Wae Teku Tedeng”
Fenomena belis di Manggarai, menjadi bahan guyonan, bahan diskusi informal. Bahkan ada yang meneliti tentang belis di Manggarai dan dimuat di journal karya tulis ilmiah
Nilai belis di Manggarai tentunya sangat bervariasi. Dan umumnya akhir dari ‘urusan adat’ itu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Baik pihak keluarga mempelai pria (anak wina, woe) maupun mempelai wanita (anak rona)
Bilamana orang lain, terjemahkan arti belis di Manggarai ke transaksi ‘jual beli’. Hemat saya, itu adalah penilaian yang sangat keliru. Ciri manusia beradab adalah menghargai budaya itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H