Kisah paling legendaris untuk menggambarkan si kecil menang melawan raksasa adalah Daud versus Goliat. Di luar itu, ada juga kisah tak kalah heroik, dan tidak hanya tentang seseorang.Â
Contohnya kisah epik ketika 3.000 pasukan Muslim menghadapi 200.000 orang prajurit Bizantium pada pertempuran Mu'tah yang terjadi tahun 629 M. Mu'tah adalah nama desa yang terletak di perbatasan Syam, di tepi Sungai Jordani, Provinsi Kerak, Yordania sekarang.
Gambaran itu cocok untuk meihat kontestasi Pilkada Jawa Timur 2024. Calon Gubernur Khofifah Indar Parawansa yang berpasangan dengan Emil Elestianto Dardak bisa dibilang sebagai Goliath karena didukung oleh 14 partai politik termasuk Partai Golkar, Gerindra, dan Demokrat yang menjadi motor Koalisi Indonesia Maju (KIM), plus PKS.
Selain itu Khofifah -- Emil juga bisa disebut sebagai calon petahana meski saat ini tidak menjabat karena adanya kebijakan penundaan jadwal pilkada sehingga diangkat penjabat gubernur. Kebijakan ini bertujuan agar pilkada di berbagai daerah dilaksanakan secara serentak.
Sementara Daud-nya adalah Tri Rismaharini dan Luluk Nur Hamidah. Risma yang menggandeng Zahrul Azhar Asumta diusung PDIP dan Hanura, serta didukung Partai Ummat. Meski PDIP menjadi pemenang Pemilu 2024, dua partai terakhir adalah partai gurem yang tidak lolos ke parlemen. Bahkan perolehan suara nasionalnya tidak sampai 1 persen.
Situasi yang dihadapi Luluk Hamidah tidak lebih baik dari Risma, Luluk yang berpasangan dengan Lukmanul Khakim hanya diusung oleh PKB. Meski PKB memenangi pemilu di Jatim, namun jumlah suaranya kalah jauh dibanding gabungan suara Gerindra, Golkar dan Demokrat.
Luluk tidak bisa berharap sepenuhnya suara Nahdliyin mengingat Khofifah juga adalah Ketua Muslimat NU yang memiliki basis massa kuat di kalangan Nahdliyin. Terlebih lagi secara organisasi, PKB sempat bersitegang dengan PBNU. Dalam berbagai survei, elektabilitas pasangan Luluk-Khakim belum pernah menembus 10 persen. Padahal elektabilitas Khofifah-Emil sudah menyentuh angka 50 persen.
Elektabilitas Luluk juga jauh di bawah Risma yang selalu menempati urutan kedua di kisaran 15-20 persen. Wajar saja karena Risma memiliki basis pendukung dari kalangan nasionalis dan abangan.
Dengan kondisi demikian, Luluk -- Khakim harus benar-benar bisa menggerakkan mesin partai hingga ke akar rumput. Pasangan dengan nomor urut 1 itu harus mencari terobosan isu yang tepat dan bersinggungan langsung dengan hajat hidup masyarakat akar rumput. Bukan lagi jargon-jargon pembangunan yang klise dan membosankan.Â
Petakan persoalan mendasar yang sangat dibutuhkan masyarakat, lalu tawarkan solusinya secara instan. Program makan siang garits atau sekarang bernama makan bergizi gratis adalah contoh solusi instan yang cocok untuk masyarakat yanag masih memandang makan bergizi sebagai sesuatu yang mewah.
Kedua, segera merangkul tokoh lokal maupun nasional yang memiliki pengaruh kuat, namun bukan dari kalangan NU. Misalnya politisi non-partai, artis top atau penggiat media sosialelegram seperti tiktoker atau selebgram.
Ketiga, mengubah sgtrategi kampnye dengan lebih menyasar kaum milenial. Sebab faktanya baik Khofifah maupun Risma merupakan mantan pejabat daerah dan nasional, sedang Luluk hanya berkiprah di DPR dari daerah pemilihan Jawa Tengah.Â
Kelemahan ini justru dapat dimaksimalkan menjadi kekuatan jika pandai mengolahnya. Contoh melalui isu perubahan dan lapangan kerja yang saat ini sangat dibutuhkan kaum milenial di tengah tingginya angka pengangguran dan PHK.
Banyak contoh tokoh yang semula tidak diperhitungkan dalam sebuah kontestasi elektoral, justru tampil menjadi pemenang. Apakah Luluk bisa membalikkan keadaan? Rasanya tidak mungkin, namun bukan berarti mustahil.
@salam yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H