Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sastra Horor; Dialektika Sejarah, Budaya dan Konsep Pemikiran

9 Juli 2024   15:29 Diperbarui: 10 Juli 2024   09:52 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto: Antara via Kompas.com

KEPERCAYAAN adanya alam gaib sama tuanya dengan dunia yang dapat dikenali manusia melalui panca indera baik indera pengelihatan (mata), indera pendengaran (telinga) indera pembau (hidung), indera pengecap (lidah), maupun indera peraba (kulit). Manusia mengenal dunia gaib beserta makluk di dalamnya, secara naluriah disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakmampuannya menjangkau dan mengenali sebab-akibat terjadinya suatu peristiwa yang berkaitan dengan kekuatan di dalam dan di luar dirinya. Di masa lalu, peristiwa yang berhubungan dengan alam, dipercaya akibat adanya campur tangan kekuatan gaib. Demikian juga penyakit yang diindap tubuh manusia.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masih menyisakan banyak pertanyaan dan hal-hal yang tidak dapat dikenali oleh panca indera. Bahkan pertanyaan paling mendasar, seperti apakah hanya manusia yang tinggal di alam semesta yang maha luas, terdiri dari ribuan galaksi di mana bumi hanyalah satu dari puluhan planet di satu galaksi bernama Bima sakti, sampai saat ini belum terjawab. Benarkah multiverse, dunia paralel, di mana kita memiliki kembaran di alam lain seperti yang didalilkan para ilmuwan termasuk Hugh Everett III? Benarkah lubang hitam di alam semesta adalah pintu gerbang menuju alam lain seperti hipotesis Albert Einstein? Bahkan keberadaan UFO (unidentified flying object) masih menjadi perdebatan apakah benar-benar ada dan berasal dari planet lain, ataukah hanya igauan akibat ketidakmampuan teknologi manusia mengidentifikasinya.

Kitab-kitab suci telah memberikan jawaban yang bersifat dogmatis dan imaniyah. Artinya hanya dipercaya oleh penganut yang mengimani ajarannya. Oleh karenanya, kebenaran dari satu kitab suci belum tentu dipercaya oleh orang yang tidak menjadi pengikut atau penganut ajarannya. Terlebih, kepercayaan apa pun yang berkaitan dengan ketuhanan, juga "mengesahkan" adanya kegaiban. Kehidupan setelah kematian adalah contoh adanya "dunia lain" di luar dunia yang dapat dikenali oleh panca indera. 

Dalam perspektif orang Jawa, makhluk yang mendiami alam gaib, dibagi dalam 2 (dua) kelompok. Pertama, makhluk yang sudah ditakdirkan menjadi gaib seperti jin dan setan. Kedua, berasal dari ruh atau roh makhluk hidup yang telah mati. Sebutan untuk makhluk gaib yang berasal dari makhluk hidup yang telah mati bermacam-macam sesuai tingkatan sosial sewaktu masih menjadi makhluk yang dapat dikenali oleh panca indera. Contohnya, danyang (baurekso), lelembut, leluhur, dan khodam atau indang.

Karena sifatnya yang tidak dapat dikenali oleh panca indera, dunia gaib atau kegaiban melahirkan misteri. Dari misteri tercipta horor ketika makhluk gaib diberi rupa (visual) baik secara lisan, teks maupun gambar yang bentuknya mirip dengan saat masih hidup. Penggambaran demikian yang kemudian disebut sebagai hantu - sekali pun tidak diimbuhi dengan rupa rusak - menimbulkan rasa takut bagi sebagian manusia yang masih berada di alam fana. Timbulnya rasa takut didasari pemahaman bahwa sosok yang disebut hantu berada di dunia gaib. Kondisi inilah yang disebut horor yakni sesuatu yang menimbulkan perasaan ngeri atau takut yang amat sangat (KBBI Online).

Visualisasi makhluk gaib berkembang dari masa ke masa dengan rupa yang nyaris tidak pernah berubah. Ingatan kolektif akan wujud hantu diceritakan turun-temurun dan berkembang menjadi budaya. Orang Jawa hidup bersisian -- paralel - dengan makhluk gaib, dan dianggap sebagai bagian dari kehidupannya. Dari sini dapat dipahami mengapa budaya Jawa tidak bisa lepas dari hal-hal gaib yang pada tingkatan tertentu berubah menjadi horor. 

Oleh karenanya horor harus dipandang sebagai budaya yang sejajar dengan kebudayaan lain. Horor harus diakui sebagai bagian tak terpisahkan dari perikehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Sastra horor sebagai sebuah kredo didasarkan dari pemahaman tersebut.

Lalu dari munculnya wujud makhluk gaib seperti banaspati, kuntilanak, tuyul, genderuwo, dan lain-lain? Mengapa kisah-kisah horor dipandang murahan, klenik dan pembodohan?  

Yuk hadiri dan simak diskusi Meja Panjang dengan tema Sastra Horor dengan tema Sastra Horor sebagai sebuah kredo yang diselenggarakan Dapur Sastra Jakarta (DSJ) dan Literasi Kompasiana (LitKom) bekerjasama dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Pemprov DKI Jakarta serta PDS HB Jassin. 

Ada juga lomba menulis berhadiah jutaan rupiah. Catat waktu dan tempatnya: Jumat, 26 Juli 2024, pukul 14.00 WIB, Aula PDS HB Jassin, Lantai 4 Gedung Ali Sadikin, komplek Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat   

Bagi yang ingin ikut lomba, bisa daftar di Literasi Kompasiana (LitKom) di halaman Temu. Ikut menyaksikan saja, atau punya unek-unek yang ingin disampaikan, juga boleh. Kuota 100 peserta.

Salam @yb

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun