Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Fokus Kecurangan, Dirty Vote Lupakan Esensi Besarnya

12 Februari 2024   07:44 Diperbarui: 12 Februari 2024   08:05 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Dirty Vote. Foto: Tangkap layar YouTube

Setelah pemanggilan ditunda untuk waktu yang belum diketahui, dengan alasan banyak penyidik yang sedang bertugas di tempat lain, persoalan tidak sertamerta berhenti. Para kepala desa yang sudah ketakutan akan lebih mudah dikendalikan secara politik oleh mereka yang memiliki kuasa dan kepentingan.

Jangankan kepala desa, konon bahkan ada ketua umum partai besar yang tidak berkutik setelah dipanggil Kejaksaan Agung dan menuruti skenario koalisi besar yang diinisiasi inner circle istana agar kasus ekspor minyak goreng yang diduga melibatkan dirinya tidak dilanjutkan.

Skenario yang dirancang, menurut Bivitri, sebenarnya tidak hebat-hebat amat karena sering dilakukan oleh rezim lain di seluruh dunia. Untuk menjalankannya juga tidak perlu kepintaran dan kecerdasan. "Yang diperlukan cuma dua, mental culas dan tahan malu," ujar Bivitri dalam closing statement Dirty Vote.

Secara keseluruhan film dokumenter Dirty Vote cukup baik karena berhasil menyajikan alur kecurangan yang telah diskenariokan dan operasi yang dijalankan untuk menggapai tujuan memenangi Pilpres 2024.

Namun sayangnya, Dirty Vote melupakan esensi lahirnya skenario kecurangan sehingga bisa menimbulkan bias. Ada 2 hal yang perlu ditambahkan.

Pertama, pola kecurangan itu berkorelasi dengan upaya perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi. Mestinya Dirty Vote mengungkapkan awalnya "orang-orang Jokowi" ingin masa jabatan presiden diubah dari 2 periode menjadi 3 periode. Dengan demikian Jokowi masih bisa mengikuti Pilpres 2024.

Upaya ini gagal karena PDIP dan Gerindra sebagai kekuatan terbesar di DPR, menolak amandemen UUD 1945 untuk mengubah pasal 7 UUD 1945.  

Setelah upaya penambahan periodisasi mentok, muncul wacana masa jabatan Presiden Jokowi ditambah 3 tahun, sampai 2027. Angka 3 tahun dipilih bukan tanpa alasan. Saat itu ketentuan batas usia minimum capres dan cawapres masih 40 tahun. Sementara usia Gibran masih 36 tahun, dan akan genap 40 tahun di 2027. Artinya, begitu Jokowi selesai, Gibran sudah bisa ikut pilpres.

Setelah upaya penambahan 3 tahun masa jabatan presiden juga gagal, dimulailah operasi menjadikan Gibran sebagai peserta Pilpres 2024. Tidak melalui amandemen UUD 1945, melainkan cukup mengutak-atik salah satu pasal di MK yang kebetulan (saat itu) dipimpin adik ipar Jokowi, Anwar Usman.

Faktor ini penting diungkap sebagai bagian dari fakta, sekaligus memperlihatkan bagaimana mereka melakukan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan. Terlebih, pengangkatan Pj kepala daerah dilakukan sebelum ada sinyal Gibran akan menjadi kandidat, dan bahkan Jokowi mengatakan putra sulungnya belum layak karena baru 2 tahun menjabat wali kota Solo.

Kedua, masih dalam kaitan Pj kepala daerah, awalnya PDIP selaku partai penguasa, justru mendukung dipilihnya orang-orang Jokowi. Bukankah orang Jokowi juga berarti orang PDIP mengingat Jokowi kader PDIP? Buktinya, PDIP diduga ikut memanfaatkan keberadaan Pj kepala daerah untuk mendukung jagoannya seperti yang terjadi di Kabupaten Sorong, dan Jawa Tengah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun