Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Saifullah Yusuf benar-benar tengah mengamalkan kelucuan yang selucu-lucunya. Namun bukan kelucuan ala kyai kampung saat menguraikan dalil yang rumit agar Nahdliyin tidak mengerutkan kening.
Kelucuan Gus Ipul adalah ketika menyebut pengikut Rais A'am KH Miftachul Achyar dan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf bergerak mendukung paslon nomor urut 2 Prabowo Subianto -- Gibran Rakabuming Raka karena terpantik ucapan Nadirsyah Hosen, cendikiawan NU.
Dalam kritik Gus Nadir sebelumnya disebutkan, dalam pertemuan di Surabaya, struktural PBNU mendapat arahan dari Rais A'am dan Ketum PBNU untuk mendukung Prabowo-Gibran.
Logikanya, kritik Gus Nadir, dijawab dengan fakta. Terlebih kritik itu datang dari internal dan notabene cendikiawan NU sehingga memiliki "legal standing". Mungkin saja Gus Nadir tidak memiliki saluran internal yang tepat ke jantung PBNU sehingga kritik disampaikan ke luar.
Terlebih Gus Ipul juga mengakui PBNU memberikan arahan bagi para pengurus wilayah soal kriteria paslon yang didukung. Demikian juga yang disampaikan Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Ali Masykur Musa. Bahkan Musa mengakui ada pertemuan tertutup PBNU yang menyepakati untuk memberikan dukungan kepada paslon tertentu.
Sebenarnya, lontaran Gus Nadir hanya penegas dari sikap malu-malu PBNU yang awalnya ngotot netral, tetapi belakangan seperti kebelet mendukung paslon yang direstui istana. Setidaknya tercermin dari sikap beberapa pentolannya.
Publik pun dapat menilai jika bangunan narasi yang disampaikan PBNU sejatinya telah doyong. Ditambah lagi, sebelumnya Gus Ipul mengeluarkan beberapa statemen yang membuat PBNU terkesan sudah tidak lagi netral dalam menghadapi kontetstasi Pilpres 2024. Misalnya ketika melarang Nahdliyin memilih pasangan calon (paslon) yang didukung tokoh tertentu.
Pernyataan Gus Ipul jelas merusak marwah PBNU. Sekali pun Gus Yahya mengatakan pernyataan Gus Ipul bersifat pribadi, tetapi karena jabatan sekjen melekat, Nahdliyin susah membedakan.
   Â
PBNU berpolitik sebenarnya bukan hal baru. Bukankah dalam sejarahnya pernah menjadi partai politik, dan membidani lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)? Justru bila dengan tegas memberikan dukungan, PBNU akan lebih elegan, tidak perlu bermain petak umpet. Tinggal dicari dalilnya, lalu diputuskan secara terbuka.
Jika pun nantinya muncul resistensi, para sesepuh NU sudah tahu cara mendamaikannya. Sebab perbedaan pendapat hal yang biasa, dan bahkan telah menjadi bagian yang mewarnai perjalanan NU.
Yang tidak boleh, beda pernyataan dengan tindakan. Bilang netral tapi diam-diam mengerahkan Nahdliyin untuk mendukung paslon tertentu, jelas bukan kultur NU. Â