Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Bekasi memutuskan aksi para camat memamerkan jersey dengan nomor punggung 2 tidak melanggar aturan pemilu. Apakah kita sebodoh itu sehingga mau mempercayai keputusan Bawaslu?
Putusan Bawaslu Bekasi seperti mengonfirmasi adanya privilege berupa back up dan kekebalan dari aturan jika mendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto -- Gibran Rabuming Raka.
Alasan Bawaslu seperti disampaikan Kordiv Penanganan Pelanggaran Data dan Informasi Bawaslu Kota Bekasi Muhammad Sodikin bahwa tidak ada citra diri dalam kegiatan pamer jersey nomor 2 oleh camat sehingga tidak melanggar Pasal 22 Ayat 4 PKPU Nomor 15 Tahun 2023 sulit diterima logika sehat.
Jika pamer jersey ramai-ramai dengan nomor 2 tidak melanggar aturan, ada baiknya aturan Badan Kepegawaian Nasional yang melarang Aparatur Sipil Negara (ASN) berpose dan selfie sambil menunjukkan jari dengan jumlah tertentu, dibatalkan.
Pernyataan Bawaslu bahwa para camat tidak tahu jika jersey tersebut memiliki nomor 2 karena diberikan dalam kondisi terlipat, lebih tidak masuk akal. Bukankah jersey itu kemudian dibentangkan dan terlihat nyata ada nomornya? Buktinya mereka tetap dengan senyum dan kompak menunjukkan bagian punggung yang ada nomornya.
Bagaimana mungkin para camat yang notabene ketua Forkopimcam di mana salah satu tugasnya memastikan ASN di lingkungannya netral dalam Pemilu 2024, tidak paham aturan. Sulit memahami para pejabat berstatus ASN itu bisa dengan begitu riang berbaris memegang jersey yang semuanya bernomor 2 di tengah masifnya seruan netralitas ASN. Â
Logika apakah yang dipakai ketika kita mempercayai bahwa aksi mereka tidak dikondisikan? Sama seperti di DKI Jakarta ketika Pj Gubernur Heru Budi Hartono menyebar ribuan spanduk ajakan untuk bergembira menyambut pemilu yang senada dengan jargon yang didengungkan pasangan Prabowo-Gibran dan tim pendukungnya.
Ingat, saat ini ada ratusan penjabat kepala daerah yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Kejadian di Bekasi, juga yang dilakukan anggota Satpol PP di Garut, pejabat di Dinas Pendidikan Kota Medan, dll, sangat mungkin karena mereka yakin tidak akan mendapat hukuman. Bahkan mungkin berdampak positif bagi karirnya karena berasumsi sedang membela penguasa. Buktinya, aksi Sat Pol PP itu langsung dibela oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Â
Atau mereka terinspirasi dengan tindakan Gibran saat debat capres? Bukankah aksi berulang Gibran mengajak pendukungnya bersorak, meninggalkan podium dan bertanya menggunakan singkatan, yang jelas-jelas melanggar tata tertib debat, tidak mendapat sanksi apa pun?
Sangat mungkin tindakan Gibran yang terkesan melecehkan KPU, karena adanya privilege sebagai anak presiden. Jika dalam bahasa gaul ada ungkapan, "anak sultan mah bebas", mungkin saja Gibran pun merasa, "anak presiden mah bebas". Â
Gelaran Pilpres 2024 akan dikenang sebagai pesta demokrasi paling konyol dalam sejarah politik Indonesia. Dimulai pelanggaran etik berat di Mahkamah Konstitusi yang menjadi jalan Gibran ikut kontestasi, ketidaknetralan presiden, para pejabat dan ASN di daerah, hingga gelontoran bantuan sosial (bansos) yang berpotensi dijadikan alat "membeli suara" rakyat miskin.
Sebagai gambaran, jika pada 2023 pemerintah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 479,1 triliun, maka di 2024 melonjak menjadi 493,5 triliun. Dari total dana Perlinsos, Rp 157,3 trilun dikhususkan untuk bansos.
Presiden Joko Widodo pun dalam tiga bulan terakhir rajin sekali keliling di Jawa Tengah sambil membagikan bansos. Secara kebetulan, dalam beberapa survei, elektabilitas Prabowo-Gibran di Jateng yang dianggap sebagai salah satu battle ground, masih kalah dibanding paslon lain.
Dengan karut-marut di atas masih pantaskah kita mengeklaim pemilu berjalan jujur, adil dan bermartabat? Apakah kita sebodoh itu?
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H