Meski ujaran kebencian, dan singgungan SARA cukup mendominasi, tapi minim terjadi ancaman kekerasan fisik, apalagi pembunuhan.
"Perang" justru terjadi di kantor polisi. Hampir setiap hari terjadi laporan terhadap pemilik akun yang dianggap menyerang kepentingan kelompoknya. Dari musisi ibu kota hingga guru di pelosok menjadi narapidana hanya karena cuitannya dianggap menyerang kelompok lain.
Saat ini "perang" di media sosial masih landai, jika dibandingkan dengan 2019. Tidak ada lagi dikotomi cebong-kampret. Sebagai gantinya, muncul narasi pro status quo versus perubahan.Â
Sebenarnya sesuatu yang wajar. Menjadi persoalan manakala salah satu pihak menyalahgunakan sumber daya negara demi mewujudkan ambisinya. Â
Bersamaan dengan itu, ancaman terjadinya benturan fisik justru meningkat. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena jika tidak diantispasi dengan baik akan melahirkan chaos di level grassroot, yang mudah tersulut dan sulit dipadamkan.
Untuk mencegah agar tidak terjadi konflik horizontal sebagai dampak dukung-mendukung capres, maka, penguasa (baca: presiden) harus benar-benar bersikap netral yang diwujudkan dengan tindakan nyata. Jangan sampai beda ucapan dengan tindakan.
Ingat, presiden adalah juga kepala pemerintahan. Keberpihakan presiden akan berdampak pada sikap aparat di bawah.Â
Terlebih ada ratusan penjabat kepala daerah yang diangkat oleh pemerintah sehingga netralitas mereka layak dipertanyakan manakala orang yang memberi kedudukan bersikap tidak netral.
Mereka akan berlomba-lomba "setor wajah" melalui tindakan yang selaras dengan sikap politik pemberi mandat. Adanya dugaan beberapa Pj kepala daerah berpihak pada paslon yang memiliki kaitan emosional dengan presiden, baik verbal maupun kebijakan, adalah bukti adanya bias tersebut.
Kedua, elit politik berhenti memprovokasi massa melalui narasi kebencian. Jargon-jargon agitatif, hujatan dan makian terhadap lawan ibarat bensin yang menyulut fanatisme berlebihan. Pendukung yang sudah termakan hasutan akan mudah melakukan tindakan destruktif.