Presiden Joko Widodo kembali melempar persoalan dalam negeri dengan situasi global. Meski ada korelasinya, tetapi mengatakan pandemi Covid-19 dan perang Ukraina-Rusia menjadi penyebab mahal dan langkanya pupuk, jelas tidak tepat.
Untuk membuktikan bahwa pandemi dan perang Ukraina-Rusia bukan penyebab kelangkaan pupuk di tanah air bisa melihat data produksi pupuk. Data 2017-2023 menunjukan produksi pupuk Indonesia stabil di kisaran 12 juta-13 juta ton.
Terlebih kelangkaan pupuk, khususnya pupuk bersubsidi, jelang musim tanam, sudah terjadi puluhan tahun, ada atau tidaknya pandemi, ada atau tidak perang di belahan dunia lain. Bahkan salah satu janji politik Jokowi di tahun 2014 adalah jaminan ketersediaan pupuk murah karena saat itu juga tengah terjadi kelangkaan pupuk.
Faktanya, setelah Jokowi berkuasa hampir 10 tahun, persoalan kelangkaan pupuk belum juga teratasi. Bahkan di beberapa daerah, seperti Jawa Tengah, petani semakin sulit mendapat pupuk bersubsidi karena berbelitnya prosedur seperti keharusan memiliki Kartu Tani setelah sistem rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) gagal menjawab problem klasik ini.
Lagi-lagi kebijakan Kartu Tani juga gagal dan menuai banyak masalah. Bahkan di beberapa tempat ditengarai dijadikan lahan politik. Petani yang ingin mendapat Kartu Tani, harus menjadi anggota partai politik tertentu.
Bisa dibayangkan nasib kelompok tani yang kebetulan memiliki aspirasi politik berbeda dengan partai penguasa. Hingga akhirnya, entah demi kepentingan politik atau ada motif lain, dalam kunjungan ke Jawa Tengah tiba-tiba Jokowi mengubah cara pembelian pupuk yakni cukup dengan KTP, tidak perlu lagi menggunakan Kartu Tani.
Kebiasaan membandingkan harga barang dalam negeri dengan negara lain yang lebih tinggi seolah-olah telah menjadi cara berpolitik Presiden Jokowi. Di saat  pemerintah tidak berdaya menghadapi kemauan pengusaha minyak goreng sawit yang meminta kenaikan harga 2 kali lipat, Jokowi pun mengatakan harga minyak goreng dalam negeri masih lebih murah dibanding di Jerman dan Amerika Serikat.
Anehnya, pada saat yang sama Jokowi tidak membandingkan pendapatan per kapita di Jerman dan Amerika dengan UMR di Indonesia. Demikian juga saat terjadi kenaikan harga beras. Jokowi dengan yakin mengatakan harga beras di Indonesia masih lebih murah dibandingkan Singapura, Brunei Darussalam dan Timor Leste.
Padahal kita tahu, ketiga negara itu nyaris tidak memiliki sawah. Bahkan negara Timor Leste juga baru berdiri sehingga tidak apple to apple ketika dibandingkan dengan Indonesia yang pernah mencapai swasembada pangan dan produk pertanian lainnya.
Ketergantungan luar biasa pada impor beras sehingga ketika beberapa negara menghentikan pasokan berdampak pada kenaikan harga di dalam negeri, adalah wujud nyata kegagalan pemerintah menciptakan kedaulatan dan kemandirian pangan.