Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Prasa dan Kelir: Sebuah Pertanggungjawaban Karya

6 Desember 2023   17:25 Diperbarui: 6 Desember 2023   17:35 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TIDAK elok bagi penulis prosa memberikan penjelasan tentang isi dan pesan yang disampaikan dalam karyanya. Hal ini selaras dengan pemahaman bahwa karya prosa (baca: novel sastra) memiliki ragam tafsir. Dia tidak tunggal karena bukan berita, atau informasi mengenai suatu peristiwa. Pembaca karya sastra dapat menafsirkan sesuai dengan latar belakang keilmuan, pengalaman hidup, lingkungan sosial dan suasana hatinya. Oleh karenanya, sangat wajar ketika karya sastra dibaca oleh sepuluh orang akan melahirkan sepuluh, bahkan sebelas, penafsiran.

Karya fiksi adalah gambaran universal, sebisa mungkin melampaui ruang dan waktu. Pada novel KELIR, saya hanya membahas tentang budaya Jawa, sejarah, intrik politik dan pergulatan batin tokoh-tokohnya yang boleh jadi representasi penulisnya. Tetapi kondisi serupa mungkin saja terjadi pada budaya lain. Artinya KELIR dapat juga digunakan sebagai landasan atau perbandingan untuk memotret kondisi sosial budaya di tempat berbeda.

Demikian juga dalam novel PRASA: Operasi Tanpa Nama. Peristiwa penggusuran pemukiman untuk kepentingan industri, tidak hanya terjadi di masa lampau, namun juga hari ini dan mungkin di masa mendatang.

Ide novel PRASA: Operasi Tanpa Nama terpantik secara tidak sengaja. Perdebatan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) selalu mengemuka menjelang kontestasi elektoral, terutama pemilihan presiden dan wakil presiden seperti sekarang ini. Saya sering kecewa karena isu pelanggaran HAM dalam konteks politik hanya sebatas buih yang hilang begitu saja manakala kepentingan politik si peniup terompet sudah tercapai.  

Padahal pembahasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, sebut saja G30S/PKI, Malari, Tanjung Priok, Talangsari, penculikan aktivis pro demokrasi pra 1998, Tragedi Semanggi I dan II, akan mengingatkan dan sangat mungkin membuka luka batin para korban dan keluarganya.

Agar hal itu tidak terus berulang, idealmya peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu dibuka dan dituntaskan secara hukum sehingga perjalanan bangsa kita ke depan tidak dibebani utang penuntasan sejarah kelam. Siapa pun yang terlibat harus dimintai pertanggung-jawaban dengan tujuan memberikan efek jera pada pelakunya dan mencegah peristiwa serupa terulang di masa mendatang.

Tetapi tidak mudah untuk mencapai konsensus itu karena pihak-phak yang diduga terlibat, melakukan perlawanan balik. Bahkan sampai hari ini belum ada data sahih terkait jumlah korban dari peristiwa-peristiwa tersebut karena banyaknya kepentingan di luar penegakkan hukum yang ikut, bahkan mendominasi, ruang-ruang investigasi dan dialog sehingga kebenaran menjadi begitu menakutkan, serupa kotak pandora.  

Melihat kekusutannya, lalu timbul pertanyaan, apakah peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu sebaiknya kita maafkan dan lupakan? Melalui PRASA: Operasi Tanpa Nama, saya mencoba mengajak pembaca untuk merenungkan atas pilihan-pilihan yang tersedia, tanpa mengesampingkan kemungkinan munculnya tafsir berbeda yang akan semakin memperkaya diskursus tentang persoalan ini melalui karya fiksi.

Karena begitu banyak data yang harus dihimpun dengan hati-hati, saya memilih menuangkannya sebagai dongeng. Tentang anak dari suku pedalaman yang menjadi korban alih fungsi hutan untuk ladang sawit. Seperti kita ketahui, hutan bukan hanya tempat pepohonan tumbuh, bukan hanya tempat satwa bermukim. Hutan juga adalah rumah bagi banyak suku bangsa. Ketika hutan-hutan dibabat atas nama pembangunan dan kepentingan ekonomi, ke mana mereka pergi? Pertanyaan yang masih relevan dikemukakan di tengah ingar-bingar pembangunan yang mendewakan pemilik modal, seraya mempariakan mereka yang tidak memiliki akses pada kekuasaan.  

Dokpri
Dokpri

Bagaimana dengan KELIR? Kecenderungan umum laki-laki Jawa ketika sudah pensiun, telah selesai menjalani pertarungan dan pergulatan dalam gelanggang kehidupan untuk menemukan jati dirinya, adalah menepi. Di masa lalu, kebiasaan menyepi di puncak gunung, di gua, atau bersemedi di tempat-tempat sunyi, jamak dilakukan oleh orang-orang tua Jawa, lintas keyakinan. Ketika kebudayaan berkembang, mengalami akulturasi, dan juga pertentangan atas dasar keyakinan, secara umum hal-hal demikian telah ditinggalkan.

Yang tersisa, yang masih sering kita jumpai di pedalaman Jawa, hanyalah laki-laki sepuh, duduk sendiri dalam gelap, menghabiskan waktunya dengan lamunan panjang. Atas dasar pemahaman di atas, saya melihat kebiasaan ini bukan perilaku individual, atau kebetulan belaka.

Sebab bagi yang laki-laki Jawa, pertanyaan-pertanyaan tentang sangkan paraning dumadi - dari mana kita berasal, untuk apa kita datang ke dunia, dan hendak ke mana setelah kehidupan fana ini -- sangat universal, lintas generasi dan keyakinan. Hanya saja, untuk saat ini porsinya mungkin lebih besar pada laki-laki Jawa yang masih lekat dengan budaya leluhurnya.

KELIR memotret kegundahan Hamoroto, mantan tentara, yang awalnya sangat percaya akan kebangkitan kembali Majapahit dan agama Budi, atau Kapitayan -- agama asli orang Jawa,  tetapi kemudian kecewa karena ramalan kedatangan Sabdopalon dan Nayagenggong tidak terbukti. Hamoroto yang awalnya didapuk sebagai ksatria utama kaum Kejawen, lantas meninggalkan budaya Jawa.

Namun Hamoroto tidak bisa selamanya mengingkari kodratnya sebagai laki-laki Jawa. Ketika usia semakin senja, seruan untuk menepi dari hiruk-pikuk kehidupan, berdenging dalam alam kebatinannya. Panggilan untuk kembali kepada akar budayanya kian menggoda. Terlebih, Hamoroto juga diburu kewajiban untuk mewariskan perang kebatinan di tanah Jawa yang telah berlangsung ratusan tahun, kepada anak laki-lakinya.  

KELIR mengambil latar seputar intrik dukun-dukun istana di masa awal kekuasaan Presiden Soeharto. Keberadaan dukun-dukun itu bukan isu karena Pak Harto sendiri mengakui meski dengan perspektif berbeda. Demikian juga dibangunnya beberapa tempat keramat di tahun 70-an yang erat kaitannya dengan ramalan kedatangan Sabdopalon setelah lima ratus tahun keruntuhan Majapahit yakni pada tahun 1978.

Meski demikian, KELIR tetaplah sebuah karya fiksi. Beberapa data yang diselipkan masih terbuka untuk dilakukan penafsiran ulang, re-interpretasi, dengan harapan akan memperkaya tinjauan atas peristiwa-peristiwa di masa lalu yang mungkin sebelumnya tabu untuk dibahas.  

Sebab di situlah sesungguhnya fungsi karya sastra di era disrupsi di mana perubahan tatanan masyarakat dan perilaku manusia begitu cepat akibat kemajuan teknologi. Sastra harus tetap hadir untuk mengisi ceruk-ceruk tersembunyi dalam jiwa kita yang tidak dapat dijangkau dan digantikan oleh teknologi.

Demikian sekelumit catatan tentang novel PRASA: Operasi Tanpa Nama dan Kelir yang telah diluncurkan dan dibedah di PDS HB Jassin Kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), 29 Oktober 2023 lalu.

Saya akan membedah proses kreatifnya secara tuntas di akun Literasi Kompasiana. Bagi teman-teman yang ingin mengetahui dan tertarik belajar bersama menulis novel dan puisi, silakan bergabung melalui tautan ini. 

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun