Dengan kondisi demikian, mengapa SBY masih memaksakan diri turun gunung? Alasan utamanya tentu untuk menutupi blunder ketika mencabut dukungan kepada Anies. SBY tidak mau dicap plin-plan, jika kembali mendukung Anies.
Kedua, Undang -- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mengharuskan partai peraih suara pada pemilu sebelumnya mengusung pasangan capres-cawapres. Ada sanksi berupa larangan ikut pemilu berikutnya manakala tidak melaksanakan ketentuan pasal 235 ayat 5.
Ketiga, SBY berharap Prabowo - Gibran menang sehingga Partai Demokrat punya peluang untuk mendapatkan kursi di kabinet. Jika pasangan yang diusung memenangi pilpres, minimal SBY tidak kehilangan muka, sekali pun perolehan suara Partai Demokrat jeblok.
Peta kekuatan saat ini memang sangat berbeda dengan konstelasi politik setahun terakhir. Dalam hitungan minggu, posisi semua partai berubah secara dramatis akibat manuver Jokowi. Bidak yang dimainkan Jokowi tidak mudah ditebak, karena tidak ada lagi norma hukum yang dijadikan batas permainan.
Meski bukan pertama kalinya di mana Jokowi mengubah aturan yang menghalangi keinginannya, semisal mengubah undang-undang agraria demi lancarnya pengadaan lahan di Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara, mengubah aturan siapa saja yang boleh dan tidak boleh menduduki jabatan komisaris BUMN, dan lain-lain, namun keputusannya merestui Gibran maju sebagai cawapres pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sangat kontroversial, tetap sulit diterima nalar sehat.
Terlebih kemudian putusan MK terhadap gugatan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres dan cawapres, dinilai oleh Majelis Kehormatan MK cacat moral dan etik. Â Â
SBY tentu saja paham, pasangan yang diusung partainya, dan akan dibela dalam kampanye, memiliki kelemahan mendasar dan mencederai semangat reformasi 1998. Oleh karenanya, meminjam istilah yang sering digunakan SBY, kita prihatin dengan langkah politiknya.
Salam @yb  Â
Dengarkan uraiannya di YouTube