Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menunggu Ledakan Hubungan Jokowi - Megawati

17 Oktober 2023   10:52 Diperbarui: 17 Oktober 2023   13:15 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu bagaimana putusan MK bisa mempengaruhi hubungan Jokowi dan Megawati? Mari simak beberapa alasannya.

Pertama,  posisi tawar (bargaining position) Jokowi di atas angin untuk mendikte Megawati terkait capres dan cawapres PDIP. Jika Megawati tidak mau mengambil Gibran sebagai capres, minimal cawapres, maka Jokowi "tidak bisa menolak" tawaran capres dari Koalisi Indonesia Maju Prabowo Subianto yang ingin menjadikan Gibran sebagai cawapresnya.

Kita paham, meski tidak bisa dipungkiri kelihaian politiknya, Megawati, pemilik hak prerogatif dalam menentukan calon yang akan diusung PDIP, juga memiliki "kelemahan akut" terkait penetapan calon yang akan diusung dalam kontestasi elektoral. Semua calon yang diusung berbanding lurus dengan hasil survei yang diramaikan media. Padahal Megawati mengaku "bingung" dengan hasil survei yang disebutnya seperti roller coaster.

Kelemahan ini dimanfaatkan kader-kadernya untuk membangun pencitraan melalui lembaga survei. Bukan rahasia lagi, lembaga survei juga merangkap konsultan politik yang tugasnya, antara lain, membuat opini terkait elektabilitas kliennya. Itu sebabnya, hampir semua hasil survei berbeda dengan real count. Terkait hal ini bisa dibaca di sini.

Kekalahan jagoan PDIP dalam kontestasi pilkada Jawa Timur, DKI Jakarta hingga Jawa Barat, tidak terbebas dari faktor itu. Perolehan suara jagoan PDIP di Pilgub Jateng 2018 pun jauh dari ekspektasi.

Kedua,  selama ini sejumlah pihak bisa menutupi apa yang disebut Megawati sebagai dansa politik Jokowi. Bukan rahasia lagi, Jokowi beberapa kali meng-endorse Prabowo, bahkan setelah PDIP menetapkan Ganjar Pranowo sebagai bakal capres.

Dengan adanya putusan MK yang membuka peluang Gibran menjadi peserta Pilpres 2024, sulit untuk menutupi fakta adanya perspektif politik yang berbeda antara Jokowi dengan Megawati. Ucapan Jokowi tidak ikut campur dalam putusan MK, masih perlu pembuktian mengingat adanya fakta apa yang dikatakan Jokowi sering berbeda dengan realitasnya. Tidak mikir copras-capres, impor pangan, utang negara, hingga penggunaan APBN untuk proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung, hanyalah sedikit contoh beda ucapan Jokowi dengan kenyataan.

Ketiga, putusan MK seakan menerangi maksud di balik restu Jokowi kepada Kaesang Pangarep menahkodahi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Jika akhirnya Gibran menjadi cawapres Prabowo, dan Jokowi disingkirkan dari kandang banteng, maka sudah ada tempat untuk melabuhkan aspirasi politiknya. Sikap Jokowi mengingatkan kita pada langkah politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjelang Pilpres 2004.

Sekedar mengingatkan, saat itu SBY yang masih menjadi anggota Kabinet Megawati, ditanya apakah akan maju dalam Pilpres 2004. Bahkan Megawati menawari SBY sebagai cawapres. SBY tidak tegas menjawab. Namun diam-diam koleganya mendirikan Partai Demokrat yang kemudian menjadi sekoci politik SBY setelah keluar dari kabinet dan berhasil menumbangkan Megawati dalam dua gelaran pilpres.

Keempat, meski seruan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto ditujukan kepada hakim MK, namun pemilihan diksi "karma politik", jelas mengarah pada pihak lain. Hasto bahkan menyebut politik harus bersandar pada kepentingan bangsa, bukan individu, keluarga maupun golongan. Pernyataan Hasto tidak lagi normatif karena pada saat bersamaan sedang ramai tudingan MK menjadi perpanjangan tangan "keluarga" Jokowi.

Dari uraian di atas, jelaslah hubungan Jokowi dengan Megawati tidak akan semesra sebelumnya kecuali jika PDIP mau mengikuti dansa politik Istana. Jika itu terjadi maka sesungguhnya Jokowi yang mengarahkan "box step" PDIP, bukan Megawati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun