Penerapan sistem proporsional terbuka yang digunakan untuk memilih anggota DPR dan DPRD melalui Pemlihan Umum (Pemilu) adalah bagian dari amanat reformasi, sebuah antitesa dari sistem yang digunakan Orde Baru yakni proporsional tertutup. Oleh karenanya, kita menentang jika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan judicial review terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka. Â
Secara garis besar proporsional terbuka memungkinkan pemilih bisa mencoblos calon anggota legislatif (caleg) yang akan menjadi wakilnya di DPR/DPRD. Caleg dengan perolehan suara terbanyak, dan memenuhi bilangan pembagi pemilihan (BPP) yang berlaku di suatu daerah pemilihan (dapil), maka caleg bersangkutan otomatis berhak mendapatkan kursi legisltaif. Manakala perolehan suaranya tidak memenuhi BPP, namun total perolehan suara partainya memenuhi BPP, kursi yang didapat tetap menjadi hak peraih suara terbanyak. Â
Dalam sistem proporsional tertutup, hal itu menjadi kewenangan partai yang mencalonkan, dan biasanya berdasar nomor urut. Jika dalam suatu daerah pemilihan (dapil) partai mendapat 1 kursi, maka caleg dengan nomor urut 1 yang akan menjadi anggota legislatif. Jika mendapatkan 3 kursi, maka caleg dengan nomor urut 1, 2 dan 3 yang berhak mendapatkan kursi. Dalam proporsional tertutup, kewenangan partai sangat besar karena menentukan nomor urut caleg.
Apakah sistem proporsional terbuka sudah sempurna? Ternyata belum, jika mendasarkan pada kasus terpilihnya Mulan Jameela. Saat itu R Wulansari, nama asli Mulan Jameela, merupakan peraih suara terbanyak kelima, sementara Partai Gerindra di Dapil Jawa Barat X mendapat 3 kursi DPR RI.
Dua kursi direbut oleh 2 caleg dengan perolehan suara teratas. Mestinya kursi ketiga, menjadi milik peraih suara terbanyak ketiga. Namun Mulan Jameela meminta agar penentuan kursi ketiga diputuskan oleh pimpinan partai. Hal ini dikarenakan peraih suara terbanyak ketiga dan keempat tidak mencapai BPP.
Artinya, kursi ketiga didapat berdasar gabungan seluruh suara, minus suara milik caleg peraihan suara terbanyak pertama dan kedua. Oleh karenanya, menurut Mulan dalam gugatannya, untuk menentukan siapa yang berhak atas kursi ketiga menjadi kewenangan partai.
Namun demikian sistem berbasis suara terbanyak tetap masih lebih baik daripada proporsional tertutup. Berikut alasannya:
Pertama, partai politik (parpol) telah diberi kewenangan besar dalam menentukan caleg yang akan diusung. Kewenangan ini mutlak karena bahkan UU Nomor 7 Tahun 2917 tidak mengatur tata cara penjaringan caleg oleh partai, termasuk dalam hal menentukan nomor urutnya.
Dengan kewenangan itu, logikanya, ketika partai menunjuk atau memutuskan seseorang menjadi caleg, otomatis telah teruji kemampuan dan loyalitasnya kepada partai. Sehingga tidak menjadi persoalan manakala yang terpilih nomor urut 1 atau 3.
Kedua, saat ini tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan dan seluruh bakal caleg telah mengetahui bahwa sistem yang digunakan adalah proporsional terbuka. Jika di tengah tahapan muncul norma baru, yang sangat bertolak belakang, tentu akan mengacaukan seluruh proses yang telah berjalan. Bukan hanya terkait 2 pasal yang dipersoalkan, tetapi juga pasal-pasal lain yang saling berkait seperti anggaran pencetakan kertas suara yang tentu harus diubah dan dibahas dari awal lagi.