Memilih dan dipilih, demikian juga mendukung dan didukung, adalah hak politik setiap warga bangsa dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi elektoral. Kondisi demikian terjadi karena ciri utama dari sistem demokrais elektoral adalah adanya pembatasan (periodisasi) masa jabatan presiden dan wakil presiden sehingga dalam kurun waktu tertentu dilakukan pemilihan.
Kita bersyukur Indonesia telah memantap posisinya sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dan berhasil menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung setiap lima tahun sekali dengan aman, dan bermartabat, sejak gelaran pertama di tahun 2004.
Tentu kita berharap, proses politik tahun 2024 juga berjalan dengan baik. Bahwa pada gelaran elektoral sebelumnya masih ada satu-dua kekurangan, belum sepenuhnya terpenuhi rasa keadilan, atau munculnya riak-riak ketidakpuasan lainnya, tidak kita ingkari tetapi bukan alas pembenar untuk berpaling pada sistem politik lain yang belum tentu cocok dengan budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia yang majemuk dan senantiasa menjunjung tinggi perbedaan pilihan.
Kita harus mulai berani membuang "berhala" yang masih muncul dalam gelaran demokrasi sebelumnya. Kita melihat Pilpres 2024 dapat menjadi momentum tepat untuk mewujudkannya, dan saya tertarik untuk ikut menjadi bagian di dalamnya.
Perlu saya sampaikan terlebih dulu, bahwa hanya pada Pilpres 2014 saya secara terbuka men-declare dukungan kepada sosok calon presiden (capres) yakni Joko Widodo, yang saat itu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Alasannya sederhana saja. Jokowi bukan militer, dan tidak menjadi bagian Orde Baru, dan berasal dari kalangan biasa. Jokowi membawa harapan baru bahwa siapa saja bisa menjadi presiden.
Usai gelaran Pilpres 2014 yang dimenangkan Jokowi, saya kembali ke habitat sebagai "orang bebas". Bahkan dua tahun kemudian saya gencar melakukan kritik terhadap berbagai kebijakannya. Itu sebabnya, pada Pilpres 2019 saya tidak lagi mendukung Jokowi, namun juga tidak memberikan suara untuk lawannya.
Sebab, ketika kita memilih untuk mendukung atau tidak mendukung calon dalam sebuah kontestasi elektoral, hendaknya didasari alasan rasional, bukan karena kebencian pada lawannya. Jangan karena benci pada Togog, lantas memilih Petruk tanpa melihat rekam jejaknya.
Untuk Pilpres 2024 mendatang, saya telah memantapkan diri menjadi pendukung Anies Rasyid Baswedan. Seperti halnya di tahun 2014, saya juga menyatakan dukungan itu secara terbuka melalui akun media sosial.
Namun setelahnya muncul berbagai kegalauan akibat sikap politik saya karena beberapa hal ini: