Skenario dua capres juga mengingkari hak rakyat untuk bisa memilih calon pemimpinnnya secara lebih leluasa. Rakyat seolah hanya dijadikan alat legitimasi, bukan lagi pemegang kedaulatan.
Alasan Presiden agar Pilpres 2024 efisien dan cepat seperti disampaikan Rommy, sangat tidak masuk akal. Alangkah berbahaya jika pemimpin ke depan harus sesuai dengan keinginan presiden yang masih menjabat.
Bukan saja seperti dinasti, tapi lebih buruk lagi karena akhirnya pemimpin yang disodorkan untuk mendapatkan legitimasi rakyat melalui gelaran elektoral yang telah didesain (by design) disesuaikan dengan selera dan kehendak satu orang atau satu kelompok politik tertentu. Sungguh berbahaya bagi bangunan demokrasi yang telah susah payah kita bangun.
Lalu siapakah capres yang akan didukung Jokowi? Jika skenario dua capres terwujud, antara Ganjar atau Ketua DPR Puan Maharani melawan Prabowo, Jokowi bisa benar-benar bersikap netral. Dengan alasan posisinya, Jokowi  bisa menolak perintah partainya untuk mendukung jagoan PDIP, sehingga hubungan dengan Prabowo tetap baik. Â
Tetapi setelah PDIP mendeklarasikan Ganjar, Jokowi tiba di persimpangan jalan. Penyebabnya bukan karena keputusan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri sangat mendadak, tapi sikap Partai Nasdem yang tetap kekeh bergabung dengan partai oposisi yakni PKS dan Demokrat membangun poros Koalisi Perubahan untuk mengusung Anies Rasyid Baswedan. Nasdem tidak gentar meski "disingkirkan" dari istana setelah sembilan tahun mengabdi, mengawal dan turut menyukseskan berbagai program pemerintah.
Awalnya PDIP tidak mempersoalkan ketika Jokowi meng-endorse Prabowo. Bahkan seperti ikut mendorong dengan harapan Prabowo dapat memecah basis dukungan Anies. Sayangnya kenyataan berkata lain. Dukungan untuk Anies justru melesat, bahkan menggerus basis suara Prabowo, bukan sebaliknya.
Jawa Barat yang semula kantong suara Prabowo, bahkan mampu mengalahkan Jokowi, kini berubah total menjadi basis Anies. Demikian juga di luar Jawa yang sebelumnya dikuasai Prabowo seperti Suimatera Barat, Aceh hingga Kalimantan. Sulit untuk menutupi fakta suara Anies begitu dominan di daerah-daerah tersebut.
Â
Lebih tragis lagi, Prabowo malah menggerus basis kelompok yang  mengeklaim sebagai nasionalis seperti kasus di Solo. Pernyataan dukungan yang disampaikan relawan Jokowi usai Prabowo bertemu Gibran, adalah alarm berbahaya bagi PDIP.
Artinya, Prabowo yang semula diharapkan menjadi rival Anies, menggembosi pendukungnya, justru bertarung dengan Ganjar di basis PDIP. Tidak heran jika petinggi partai moncong putih meradang.
Jokowi pun terjebak oleh skenarionya sendiri.
Jika situasi ini tidak berubah, maka dukungan Jokowi sangat mungkin tetap diberikan kepada Prabowo sekalipun disuarakan melalui relawan-relawannya. Tidak dinyatakan secara terbuka oleh Jokowi maupun putranya.
Alasannya sederhana saja, untuk kepentingan Pilkada DKI 2024, atau bahkan Pilpres 2029 di mana Gibran membutuhkan perahu yang solid. Jokowi bisa melakukan lobi-lobi sejak awal untuk memastikan dukungan Partai Gerindra.