Klaim bahwa prajurit TNI memiliki wawasan tentang kepentingan nasional dan keahlian yang dibutuhkan kementerian atau lembaga, tidak dapat menjadi karpet merah masuknya prajurit aktif ke ranah sipil. Ingat, banyak juga warga sipil yang memiliki khusus yang dibutuhkan militer, tetapi tidak serta-merta menjadi anggota TNI manakala tenaganya dibutuhkan. Paling jauh diangkat menjadi warga kehormatan.
Usulan masa bakti prajurit TNI hingga 60 tahun juga sudah lama diwacanakan dan mendapat penolakan karena akan terjadi penumpukan perwira menengah dan perwira tinggi tanpa job sehingga akhirnya dikaryakan di wilayah sipil.
Hal yang tidak kalah penting adalah mencermati usulan revisi Pasal 3 Ayat (1) UU TNI. Saat itu bunyi pasal tersebut yakni "Pengerahan dan penggunaan kekuatan milir, TNI berkedudukan di bawah Presiden".
Mengutip kompas.com, dalam draft revisi yang masih sebatas wacana, Pasal 3 Ayat (1) diubah menjadi "TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah Presiden".
Artinya, jika perubahan redaksional pasal tersebut disetujui, ke depan TNI, atas perintah Presiden, dapat melakukan operasi militer di ranah sipil dengan dalih untuk menjaga keamanan negara. Tugasnya tidak lagi sebatas mempertahankan kedaulatan negara dari serbuan musuh, tapi ikut cawe-cawe di ranah sipil.
TNI yang profesional dan tetap dalam semangat kembali ke barak harus terus digaungkan dan dipatuhi semua pihak karena merupakan amanat reformasi. Perluasan operasi militer selain perang (OMSP) tidak dibutuhkan karena hanya menegaskan adanya upaya pembelokan arah reformasi.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H