Kedua, mengutip KBBI online, kritis adalah bersifat tidak cepat percaya, tajam menganalisa dan bersifat selalu berusaha meraih celah kesalahan dan kekeliruan. Pertanyaannya, benarkah 89 persen masyarakat Indonesia sudah sampai pada taraf tersebut dalam berpolitik?
Ketiga, benarkah orang-orang kritis, telah melupakan rekam jejak Prabowo? Berapa persen dari masyarakat kritis itu, yang sudah melupakan peristiwa-peristiwa kelam di masa lalu? Kita tidak ingin mengungkit hal-hal semacam itu karena pada akhirnya hanya menjadi mainan politik pihak-pihak yang diuntungkan. Tetapi bukan berarti permisif kepada orang-orang yang terindikasi langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pelanggaran HAM, apalagi pelanggaran HAM berat, di masa lalu.
Kita lebih meyakini, lembaga-lembaga survei sedang mendorong Prabowo untuk maju dalam Pemilihan Presiden 2024. Mengapa? Sebab jika lawannya Ganjar, tanpa bermaksud mendahului kehendak Tuhan, Prabowo dipastikan kalah. Dan akan menjadi kekalahan keempat sepanjang sejarah pilpres yang diikuti.
Keyakinan ini didasari fakta, pemilih Prabowo pada Pilpres 2019 adalah mereka yang tidak sejalan dengan berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi. Ketika Prabowo masuk istana, menjadi bagian kabinet Jokowi, tidak perlu survei untuk mengetahui kekecewaan para pemilihnya.
Artinya pendukung Prabowo saat ini sangat mungkin tinggal kader dan simpatisan Partai Gerindra. Dan kebetulan kelompok ini yang disurvei- jika pun beneran ada survei.
Kita paham, lembaga survei adalah juga konsultan politik. Opini yang digiring sangat mungkin "disesuaikan" dengan kehendak pemesannya. Bahkan Megawati yang mengaku paham ilmu statistik, dibuat bingung dengan survei-survei saat ini.
Oleh karenanya, amat disayangkan jika para bacapres yang akan bertarung di Pilpres 2024 hanya didasarkan pada elektabilitas tinggi versi lembaga survei. Kita berharap partai-partai politik mau benar-benar melihat rekam jejak tokoh-tokoh yang akan diusung, tidak sebatas mengikuti kehendak "tukang survei".
Tentu kita menghargai keinginan Prabowo mengikuti jejak para pejuang yang tidak kenal kata menyerah.
Namun perlu dipahami, konteks perjuangan zaman dulu dan sekarang berbeda. Bung Karno, Jenderal Sudirman, dan lain-lain berjuang demi membebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan. Tanpa pamrih pribadi. Sedang dalam kontestasi politik, ambisi pribadi para calon lebih menonjol.
Lagi pula ranah pengabdian, berjuang untuk rakyat di masa kini, tidak harus melalui jabatan politik. Banyak tokoh masyarakat, aktivis lingkungan, pendidikan, sosial dan budaya, yang mengabdikan diri tanpa pamrih, di tempat-tempat yang jauh dari sorot kamera dan gelimang fasilitas negara.
Mereka tidak kenal menyerah, tanpa keluh kesah meski pengabdiannya sepi dari perhatian negara, tak beroleh tepuk tangan. Mereka itulah yang sejatinya yang lebih tepat disebut sebagai pejuang masa kini.