Sejak era Orde Baru, kita disuguhi mantra sakti untuk memilih calon pemimpin nasional yakni Notonegoro. Menurut si pembuat tafsir, Indonesia akan mencapai tatanan masyarakat yang adil dan makmur sesuai cita-cita kemerdekaan, setelah dipimpin oleh beberapa Presiden yang memiliki akhiran nama Notonegoro.
Soekarno dan Soeharto dijadikan alas penguat konsep Notonegro. Setelah akhir No dari Soekarno dan To dari Soeharto, maka pemimpin selanjutnya harus berakhiran Ne, Go dan Ro.
Mantra ini seolah memperkuat "ketentuan tak tertulis" bahwa Presiden Indonesia harus bersuku Jawa. Maka menjelang gelaran Pilpres kita selalu sibuk membuka primbon dan mencari tokoh-tokoh bersuku Jawa yang memiliki nama dengan akhiran sesuai  konsep Notonegoro, baik tertulis maupun tersirat.
Bahkan di masa Orde Baru di mana presidennya sudah pasti Soeharto (lagi), tetap saja ada yang mengutak-atik konsep Notonegoro, hasil ramalan atau jangka Jayabaya, Raja Kadiri (1135-1157). Â
Saat ini, beberapa tokoh mulai ramai meramal calon pengganti Presiden Joko Widodo di Pilpres 2024. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Ercik Thohir mengaku tidak akan ikut kontestasi Pilpres 2024 karena tidak memiliki akhiran nama yang sesuai dengan konsep Notonegoro.
Bahkan Luhut menyeru agar tokoh yang tidak berlatarbelakang Jawa jangan ngotot menjadi capres. Alasannya, karena pasti akan sakit hati (dengan hasilnya).
Benarkah konsep Notonegoro masih relevan dengan kondisi saat ini? Mengapa frasa "pemimpin Jawa" didengungkan lagi padahal jelas-jelas bentuk politik identitas yang telah ditentang oleh sejumlah kalangan, termasuk Presiden Jokowi?
Pasca kekacauan politik yang memaksa Soeharto lengser, penggantinya, yakni BJ Habibie, bukan saja namanya tidak berakhiran dengan salah satu suku kata dari Notonegoro, namun juga tidak bersuku Jawa.
Dengan demikian sejatinya konsep Notonegoro sudah terbantahkan, alias tidak perlu dipakai lagi. Dengungan bahwa Indonesia harus dipimpin oleh orang Jawa, juga terbantahkan karena selama kepemimpinan BJ Habibie tidak ada penolakan dari masyarakat Jawa.
Penolakan pidato pertanggungjawaban BJ Habibie tidak dapat dimaknai sebagai bentuk penolakan oleh orang Jawa karena bersifat politis. Buktinya, yang menolak bukan hanya anggota MPR bersuku Jawa, melainkan lintas suku.
Presiden setelah BJ Habibie juga tidak sesuai lagi dengan konsep Notonegoro yakni Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. Meski ada yang mencoba menggunakan jurus gothak-gathik-gathuk, tetap saja melenceng dari konsep Notonegoro.