Wacana duet Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dengan Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tiba-tiba dimunculkan sejumlah pengamat. Dalam wacana yang berkembang dan sempat mendapat reaksi dari PKB, Ganjar dipasang sebagai calon presiden (capres) sedang Prabowo menjadi pendampingnya.
Duet Ganjar -- Prabowo disebut bisa mengalahkan Anies Rasyid Baswedan yang telah diusung oleh Partai Nasdem sebagai capres, namun belum memiliki calon wakil presiden (cawapres). Â
Mirisnya, salah satu alasan yang digunakan sebagai tolok ukur Prabowo mau dengan hanya menjadi cawapres dikaitkan dengan kesediaannya menjadi "pembantu' Presiden Joko Widodo, rivalnya di 2 gelaran pemilihan presiden terakhir.
"Jika menjadi menteri saja mau, tidak ada alasan menolak menjadi cawapres," ujar Ray Rangkuti pendiri Lingkar Madani seperti diutip dari Kompas.comÂ
Salah satu dasar pertimbangannya, PDIP memiliki suara lebih besar dibanding Gerindra pada Pemilu 2019. Seperti diketahui, Ganjar merupakan kader PDIP. Â
Sejauh ini Prabowo dan Gerindra belum memberikan tanggapan signifikan. Gerindra hanya menganggap sebatas wacana.
Sementara PKB, yang telah merajut embrio koalisi dengan Gerindra langsung memberikan reaksi keras. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengancam akan membentuk poros baru jika Gerindra merapat ke PDIP.
Jika melihat konstelasi politik kekinian, duet Ganjar -- Prabowo sulit terwujud, sekedar tidak mengatakan mustahil. Sebab jika terbentuk koalisi PDIP -- Gerindra, maka Ketua DPR Puan Maharani yang akan dimajukan. Skenario ini bahkan sudah tercium sejak awal ketika wacana 2 pasangan calon pada Pilpres 2024 masih berhembus kencang. Â Â Â
Skenario itu buyar setelah safari politik Puan gagal total. Kecepatan Golkar membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama PAN dan PPP, disusul wacana koalisi Gerindra -- PKB dan terakhir Nasdem mendeklarasikan Anies, membuat wacana 2 pasangan calon kandas. Jika pun ke depan terjadi pergeseran, minimal tetap akan ada 3 pasangan capres dan cawapres.
Tetapi mari kita andaikan Prabowo benar-benar mau menjadi cawapres. Jika itu terjadi maka kita sependapat bahwa dalam berpolitik Prabowo hanya mengejar jabatan. Prabowo tidak memiliki "daya juang" yang cukup untuk menegakan ideologi partai sehingga rela hanya menjadi "pelengkap" partai lain.
Sulit memungkiri, keputusannya menjadi bagian kabinet lawan, merupakan sebentuk sikap "putus asa" setelah menelan 3 kekalahan beruntun dalam gelaran pilpres.