Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tidak Berharap Rusia Mendengar Deklarasi Bali

16 November 2022   18:30 Diperbarui: 16 November 2022   20:05 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo memimpin sidang KTT G20 di Bali | Foto: Kompas.com

Pokok bahasan yang paling alot dalam G20 Bali Leaders Declaration adalah bahasa yang tepat untuk menyikapi perang Rusia-Ukraina. Hasilnya, para pemimpin yang mengikuti KTT G20 di Bali hanya menyebut perang di Ukraina menyebabkan penderitaan manusia yang luar biasa dan memperburuk keretanan dalam ekonomi global.

Mengutip Kompas.com, bunyi selengkapnya adalah "Menghambat pertumbuhan, meningkatkan inflasi, mengganggu rantai pasokan, meningkatkan kerawanan energi dan pangan, dan meningkatkan resiko stabilitas keuangan".

Dengan bahasa yang sederhana dan terkesan asal ada tersebut, delegasi Rusia langsung menolak, China dan India abstain, sementara Amerika Serikat dan sekutunya yang sejak awal menginginkan kecaman yang lebih keras dan nyata, "terpaksa" menyetujui.

Sangat mungkin rumusan tersebut hasil kompromi yang "tergesa-gesa" karena pertemuan puncak sudah hampir berakhir dan Indonesia, selaku tuan rumah, ngotot harus ada yang dihasilkan dari perhelatan 20 pemimpin dunia di Bali.

Bahkan delegasi Rusia yang dipimpin Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov sudah meninggalkan Bali sebelum Deklarasi Bali dibacakan. Dari sini maka sangat mungkin Rusia akan mengabaikan Deklarasi Bali. Terlebih sekutu dekatnya, China dan India yang merupakan dua kekuatan ekonomi dunia saat ini, abstain.

Bunyi G20 Bali Leaders Declaration berbeda jauh dibanding Resolusi PBB hasil Sidang Umum 12 Maret 2022 yang tegas mengecam serangan Rusia dan meminta agar Negeri Beruang Merah itu menarik pasukannya dari wilayah yang telah diduduki tanpa syarat.

Tetapi seperti kita ketahui, Rusia pun cuek-bebek dengan resolusi PBB yang dimotori Amerika Serikat dan sekutunya. Terlebih resolusi itu juga hanya disetuju 14 negara, 5 menolak, 35 abstain dan 12 negara tidak menghadiri sidang darurat tersebut.  

Kita paham, seperti dikatakan dalam Deklarasi Bali, G20 bukan forum untuk membahas dan menyelesaikan keamanan dunia. Jadi tidak salah jika kita pun tidak berharap Rusia akan mendengar, apalagi mematuhi, Deklarasi Bali.

Apakah setelah ini Indonesia berada dalam satu barisan dengan Amerika Serikat dan sekutunya dalam menyikapi perang di Ukraina? Tentu tidak. Indonesia tetap berada dalam zona netral, bebas aktif, karena perang di Ukraina bukan aneksasi seperti halnya Israel di tanah Palestina.

Rusia hanya "membantu" beberapa wilayah melepaskan diri dari Ukraina yang ngebet ingin bergabung dengan NATO. Rusia membantu wilayah-wilayah itu merdeka dan menjadikannya sebagai sekutu. Dengan adanya negara-negara baru di sepanjang perbatasan dengan Ukraina, maka akan menjauhkan moncong nuklir NATO dari wilayah Rusia sekalipun kelak Ukraina bergabung dengan NATO dan wilayahnya digunakan sebagai pangkalan nuklir.

Bahasa yang dipilih dalam Deklarasi Bali terkait perang di Ukraina sudah sangat sesuai dengan kepentingan Indonesia. hanya imbauan dan pemberitahuan bahwa perang menyengsarakan umat manusia. Normatif dan sekedar ada.

Lalu apa hasil konkret dari gelaran G20 di Bali untuk Indonesia? Tidak ada. Empat hal dari 52 poin isi Deklarasi Bali, yang diklaim Presiden Joko Widodo sebagai keuntungan konkret bagi Indonesia, masih bisa diperdebatkan.

Mari kita lihat 4 hal tersebut yakni dana cadangan pandemi (pendemic fund), pembentukan Resilience and Sustainability Trust (RST) oleh Dana Moneter Internasional (IMF), penghimpunan dana untuk membantu Indonesia melakukan transisi energi, dan terakhir, komitmen untuk mengurangi degradasi tanah secara sukarela.

Jika mau jujur, hanya poin ketiga yang benar-benar berdampak langsung  kepada Indonesia di mana Amerika dan sekutunya sepakat membantu mengumpulkan dana senilai US$ 20 miliar. Namun ingat, dana tersebut akan dihimpun melalui Just Energy Transition dari kantong International Partner Group dan The Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).

Artinya Indonesia harus memenuhi beberapa kewajiban terlebih dahulu, utamanya terkait penurunan emisi karbon. Tanpa itu, rasa-rasanya GFANZ tidak akan mengeluarkan uangnya untuk membantu Indonesia melakukan transisi energi.

Sedang poin pertama yakni pandemic fund senilai US$ 1,5 miliar hanya akan disumbangkan ke suatu negara yang mengalami kesulitan dalam mengatasi pandemi di masa mendatang. Jadi bukan dikhususkan untuk Indonesia. Demikian juga RST dari IMF sebesar US$ 81,6 miliar. Peruntukannya sangat jelas yakni membantu negara-negara kelompok rentan dalam menghadapi krisis pangan dunia.  

Jadi, sekali lagi, bukan kita pesimis, tetapi gelaran G20 masih sama saja seperti sebelumnya yang dilaksanakan di negara-negara lain. Tak lebih "ajang liburan" para pemimpin dunia.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun