Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi satu-satunya partai politik dan organisasi sosial politik warisan Orde Baru yang belum pernah meraih kemenangan dalam kontestasi pemilu di era reformasi. Nasibnya berbeda jauh dibanding PDIP dan Golkar. Setelah sempat di papan tengah, kini PPP harus berjuang lebih keras agar bisa memenuhi "ambang batas kematian" parlemen.
Sebab pada Pemilu 2019 PPP nyaris gagal memenuhi parliamentary threshold karena hanya memperoleh 4,5 persen suara nasional dan 19 kursi DPR (3,3 persen). Jumlah itu menempatkan PPP sebagai juru kunci di parlemen dan hanya berjarak 0.5 persen dari ambang batas parlemen.
Banyak variabel yang menjadi penyebab kegagalan PPP bersinar. Salah satunya konflik berkepanjangan sejak 2014. Suryadharma Ali ketua umum saat itu, digoyang setelah secara terbuka mendukung pencalonan Prabowo Subianto. Di tengah konflik, Suryadharma Ali ditangkap KPK terkait korupsi dana haji.
Romahurmuziy alias Rommy kemudian mengambil alih kemudi PPP meski tidak mulus karena Djan Faridz mengklaim serupa. Kubu Rommy di atas angin setelah masuk dalam barisan partai penguasa usai Pemilu dan Pilpres 2019 meski perolehan suaranya anjlok.
Tidak lama setelah itu, Rommy dicokok KPK karena terlibat suap penempatan pejabat di lingkungan Kementerian Agama. Melalui Muktamar IX pada 19 Desember 2020, Suharso Monoarfa terpilih menjadi ketua umum. Tidak sampai 2 tahun, Suharso dilengserkan. Salah satu pemicunya adalah ucapan kontroversialnya soal "amplop untuk kiai".
Muhammad Mardiono kemudian dipercaya menjadi Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP sejak 5 September 2022. Pengusaha sukses asal Banten yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu langsung tancap gas mengikuti tahapan pemilu di KPU. Saat ini PPP telah dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilu 2024 bersama 8 partai politik lainnya yang memiliki kursi di DPR.
Namun demikian, konflik dan kasus korupsi, jelas bukan faktor utama yang merontokan pamor PPP. Sebab partai-partai lain pun mengalami kondisi serupa. Banyak pengurus dan bahkan ketua umum partai lain yang juga terjerat korupsi namun nyatanya mampu bangkit.
Golkar dan PDIP yang berkali-kali dilanda konflik internal, hingga hengkangnya sejumlah ikon partai, nyatanya mampu mempertahankan diri di papan atas dan bahkan memenangi pemilu. Jika Golkar di tahun 2004, PDIP sudah tiga menjadi juara yakni di Pemilu 1999, 2014 dan 2019.
Oleh karenanya faktor kepemimpinan dapat disimpulkan menjadi penyebab pertama mengapa PPP gagal bersinar dalam 4 pemilu terakhir.
Faktor kedua, PPP tidak memiliki basis massa yang jelas. Sebagai partai hasil fusi empat partai yakni Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). pada 5 Januari 1973, sejak reformasi PPP tidak lagi sebagai satu-satunya partai berhaluan Islam.