Kenaikan cukai tembakau yang berimbas pada meroketnya harga rokok kemasan membuat orang berhenti merokok? Ngomong opo to kuwe!
Mungkin masih membutuhkan survei lembaga kredibel, tapi bisa dipastikan tidak ada perokok aktif yang berhenti merokok hanya karena harganya melambung. Alasan utamanya karena dengan mudah dia berganti ke rokok lain yang lebih murah, bahkan jika terpaksa, masih bisa tingwe alias melinting sendiri.
Jadi kenaikan cukai rokok dengan jargon agar masyarakat berhenti merokok bukan saja tidak sesuai realita, namun sebentuk pemanis untuk menyembunyikan fakta lain. Sepertinya pemerintah memang punya kebiasaan baru dengan "menyalahkan" masyarakat setiap akan membuat  kebijakan yang berujung pada kenaikan harga barang.
Sebelum mencabut subsidi yang berimbas pada kenaikan harga BBM, pemerintah sibuk beretorika subsidi hanya dinikmati golongan mampu. Padahal faktanya, yang terimbas kenaikan BBM tetap saja rakyat kecil. Jika subsidi dinikmati orang kaya, bukankah mestinya orang kaya yang terimbas kenaikan BBM?
Bantuan sosial yang diberikan, yang disebut  agar subsidi tepat sasaran, hanya pemanis karena hanya diberikan sebesar Rp 600 ribu untuk 4 bulan. Padahal kenaikan BBM berlaku selamanya, bahkan ketika harga BBM dunia yang menjadi alasan lain kenaikan BBM, anjlok.
Kini pemerintah pun melakukan framing serupa ketika akan kembali menaikkan cukai tembakau yang berimbas pada kenaikan harga rokok. Selain bertujuan agar masyakat berhenti merokok karena harga (menjadi) mahal, Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan sangat yakin menyebut konsumsi rokok rumah tangga miskin hanya kalah dari konsumsi bahan pokok (beras).
Dengan bahasa lain, masyarakat msikin lebih mendahulukan membeli rokok dibanding membeli kebutuhan protein seperti daging, telor atau bahkan tahu dan tempe.
Kita anggap asumsi Menkeu benar. Tetapi kembali ke fakta di atas bahwa kenaikan harga rokok tidak akan menghentikan kebiasaan merokok masyarakat. Jauh panggang dari api.
Kita justru curiga, karena adanya kebiasaan terlebih dahulu "menyalahkan" masyarakat sebelum membuat kebijakan menaikkan harga barang, pemerintah memiliki motif lain yang disembunyikan. Apa itu?
Mari kita lihat fakta ini.
Pendapatan negara dari tarif cukai tembakau, dengan porsi terbesar dari rokok, sangat besar. Sebagai gambaran, sumbangan cukai tembakau kepada APBN Tahun 2020 sebesar 10.11 persen (eq. Rp 205,68 triliun). Luar biasa.
Sampai dengan Juli 2022, penerimaan negara dari cukai tembau mencapai 122,14 triliun, naik 21 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Pertumbuhan ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok. Bahkan saat pandemi, pendapatan negara dari cukai tembakau tidak goyah.
Lalu mari kita sandingkan dengan jargon pemerintah bahwa kebijakan kenaikan cukai bertujuan agar masyarakat kecil tidak merokok, yang berarti akan mengurangi pendapatn negara dari sektor cukai tembakau?
Masuk akalkah sementara negara sedang ngos-ngosan mencari dana untuk menggarap proyek-proyek mercusuar. Meski awalnya dikampanyekan tidak sepeser pun menggunakan APBN, fakta menunjukkan sebaliknya. Justru APBN yang kemudian dijadikan penopang utama.
Kita justru melihat pemerintah sedang berusaha mengumpulkan cukai tembakau sebanyak-banyaknya karena berharap ada kenaikan pajak dari sektor lain sudah menthok. Dana segar dari hasil pencabutan subsidi BBM, sepertinya belum mencukupi sehingga Sri Mulyani masih sibuk mencari tambahan pemasukan. Menaikkan cukai rokok adalah hal yang paling mudah karena tidak akan menimbulkan protes berkepanjangan.
Kita bahkan sudah lupa, entah sudah berpa kali pemerintah menaikkan cukai rokok. Hanya saja sebelumnya tidak disertai embel-embel "demi kesehatan rakyat". Sebagai contoh, harga rokok mild dari merek terkenal, di tahun 2012 masih di kisaran  Rp 11.500-12.000 per bungkus, saat ini sudah di kisaran Rp 27.000-29.000 per bungkus.
Apakah jumlah perokok turun? Silakan lihat faktanya.
Berdasarkan survei  Global Tobacco Survey-GATS, tahun 2011 ada 60,3 juta perokok aktif. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2021, jumlah perokok aktif meningkat menjadi 69,1 juta orang.
Apakah kenaikan harga rokok berkorelasi dengan penurunan jumlah perokok?
Sudahlah, jangan menggunakan retorika pembodohan. Kita sepakat, bahayanya nikotin. Kita pun mendorong dan mendukung kampanye anti-rokok. Tetapi tidak dengan memanipulasi data.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H