Relawan Koalisi Aktivis dan Milenial Indonesia untuk Ganjar Pranowo (KAMI-Ganjar) membuat gerah elit PDI Perjuangan. KAMI-Ganjar mendoakan Presiden Joko Widodo menjadi Ketua Umum PDIP menggantikan Megawati Soekarnoputri pada 2024 mendatang. Tidak lama setelahnya, muncul #MegaDikudeta.
Doa relawan KAMI-Ganjar menjadi menarik di tengah tarik-ulur bakal calon presiden (capres) yang akan diusung PDIP di gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Beberapa kader di bawah menginginkan agar PDIP mengusung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Sementara elit PDIP terlihat lebih condong mendukung Ketua DPR Puan Maharani.
Peluang Puan tentu lebih besar. Bukan hanya karena anak Megawati dan posisinya sebagai Ketua DPP PDIP, Puan juga memiliki rekan jejak mumpuni baik di pemerintahan maupun legislatif.
Satu-satunya kelemahan Puan adalah elektabilitasnya yang masih rendah sesuai hasil survei sejumlah lembaga. Namun yang perlu dipahami, hasil survei tidak pernah menjadi patokan partai dalam menentukan calon yang akan diusung dalam kontestasi elektoral.
Mungkin hanya partai-partai gurem yang menjadikan hasil survei pihak luar sebagai tolok ukur dalam memilih kandidat. PDIP, Golkar dan partai-partai mapan lainnya, memiliki alat ukur sendiri yang terbukti lebih efektif karena benar-benar sesuai dengan kondisi di lapangan.
Munculnya #MegaDikudeta semakin menarik karena memang terkesan ada perbedaan aspirasi antara Megawati dengan Presiden Jokowi. Dalam beberapa kesempatan, Jokowi menunjukkan gestur yang lebih condong kepada Ganjar.
Adanya perbedaan itu, pernah diakui Jokowi usai meresmikan Masjid At Taufik di Lenteng Agung. Kala itu Jokowi mengatakan hubungannya dengan Megawati seperti dalam keluarga besar sehingga wajar dalam perjalanan ada anak yang nakal. Saat itu Megawati yang berdiri di samping Jokowi, langsung memberikan lirikan tajam.
Kondisi di kandang banteng semakin runyam setelah safari politik Puan "gagal" mengegolkan skenario 2 capres di gelaran Pilpres 2024 seperti yang pernah diwacanakan Sekretaris Jenderal  PDIP Hasto Kristiyanto.
Terlebih setelah Ganjar secara terang-terangan mengaku siap menjadi capres. Meski disertaii embel-embel "jika dicalonkan oleh PDIP", namun pernyataannya menjadi kontroversial karena meminta agar partainya memperhatikan hasil survei yang disebut Ganjar sebagai suara rakyat.
Dalam tafsir lain, pernyataan Ganjar seolah "mengajari" Megawati bagaimana cara memilih capres. Seperti kita ketahui penentuan capres PDIP merupakan hak prerogatif ketua umum PDIP.
Pengurus pusat PDIP pun meradang dengan memberi sanksi kepada Ganjar. Sanksi juga diberikan kepada Ketua DPC PDIP Kota Solo FX Hadi Rudyatmo yang memberikan dukungan kepada Ganjar. Pulang dari DPP PDIP usai menerima sanksi, Rudy justru disambut ribuan kader PDIP.
Perlawanan dari Solo tidak hanya berhenti sampai di situ. Rudy dan kader-kader PDIP kemudian merayakan ulang tahun Ganjar secara terbuka sambil membawa posternya yang dapat dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap sanksi yang dijatuhkan DPP PDIP.
Apakah #MegaDikudeta berkorelasi dengan aksi-aksi di atas? Ataukah dibuat untuk adu-domba antara elit PDIP di Jakarta dengan kader-kader di Solo? Atau ingin membenturkan Megawati dengan Presiden Jokowi?
Terlepas pihak mana yang menginisiasi munculnya #MegaDikudeta, yang pasti hak prerogatif Megawati sedang diuji. Apakah Megawati berani mengambil tindakan yang lebih tegas bahkan keras seperti yang pernah dilakukan terhadap kader-kader senior yang dianggap mbalelo? Ataukah memilih mengikuti skenario yang tengah dimainkan segelintir kadernya?
Salah satu kunci keberhasilan PDIP memenangkan 3 kali Pemilu sebelumnya yakni 1999, 2014 dan 2019, adalah ketegasan Megawati. Jika ingin hattrick di 2024, tidak ada pilihan bagi Megawati selain menunjukkan siapa yang berkuasa di kandang banteng.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI