Di tengah derasnya kecaman terhadap Partai Nasdem karena dianggap terlalu cepat mendeklarasikan calon presiden (capres), Presiden Joko Widodo justru mendorong poros politik bernama Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) melakukan hal serupa.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu secara terbuka meminta agar para ketua umum partai yang tergabung dalam KIB yakni Airlangga Hartarto (Golkar), Zulkifli Hasan (PAN) dan Muhammad Mardiono (PPP) segera menentukan capres pilihannya.
"Jangan hanya rangkul-rangkulan terus," kata Jokowi saat menghadiri acara peringatan HUT ke-58 Partai Golkar di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat malam seperti dikutip dari kompas.com.
Bahkan Jokowi meyakini penentuan capres KIB tidak akan lama lagi. Jokowi juga yakin Golkar akan dengan cermat, teliti dan hati-hati, tidak sembrono dalam mendeklarasikan capres 2024.
Menariknya, sebelum menghadiri acara Golkar, Presiden Jokowi menerima kedatangan Anies Rasyid Baswedan di Istana Merdeka. Jokowi mengatakan kedatangan Anies untuk berpamitan karena masa jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta telah selesai sejak 16 Oktober lalu.
Peristiwa lain yang dapat dihubungkan dengan dua peristiwa di atas adalah pernyataan terbuka Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo jika dirinya siap di-capres-kan, meski disertai embel-embel "oleh PDIP".
Ada pengamat yang menyebut pernyataan Ganjar merupakan kode yang sedang dipersiapkan oleh PDIP untuk segera membentuk koalisi.
Dalam politik tidak ada hal yang pasti kecuali ketidakpastian itu sendiri. Tetapi publik dapat menilai apa yang sedang terjadi dari gestur dan pernyataan-pernyataan tokoh yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan dinamika dan realitas politik saat ini.
Pernyataan Ganjar, kedatangan Anies ke Istana dan dorongan Jokowi agar KIB segera mendeklarasikan capres, adalah realitas politik yang saling bertemali. Sebab pernyataan Ganjar dan kesediaan Jokowi menerima Anies di Istana, langsung menepis gorengan 3 isu terpanas.
Pertama, kita menafsirkan, pertemuan Jokowi dengan Anies tidak sekedar acara pamitan. Di samping bukan tradisi, karena sebelumnya tidak ada keharusan gubernur yang pamitan ke preiden usai purna tugas, saat ini Anies telah dideklarasikan sebagai capres oleh Partai Nasdem, 3 Oktober lalu.
Sebagai mantan juru bicaranya sekaligus mantan anggota kabinetnya, selama ini hubungan Jokowi dengan Anies baik-baik saja. Bahwa ada beberapa perbedaan terkait kebijakan di Jakarta, tidak dapat dijadikan pembenar adanya friksi, apalagi menempatkan Anies sebagai oposisi. Terlalu naif.
Gubernur, sekalipun dalam kapasitas sebagai pembantu presiden di daerah, memiliki kewenangan dan diskresi sepanjang tidak berbenturan dengan kebijakan strategis nasional. Perbedaan dalam pelaksanaan di lapangan tidak dapat dimaknai sebagai "pembangkangan" karena kepala daerah juga dipilih secara langsung oleh rakyat.
Oleh karenanya, kepala daerah bukan hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, namun juga memiliki tanggungjawab untuk menunaikan mandat yang diberikan rakyat sesuai janji politiknya.
Pertemuan Jokowi dengan Anies menepis framing miring yang dibangun beberapa pihak, termasuk PDIP. Seperti kita ketahui, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto sempat mengecam deklarasi Anies oleh Nadem.
Bahkan Hasto menyebut warna biru sudah tidak ada di Istana yang disamakan dengan perobekan warna biru pada bendera Belanda di masa perang kemerdekaan. Dengan lantang Hasto mendesak agar tiga kader Nasdem dikeluarkan dari kabinet padahal mengaku tahu jika reshuffle kabinet merupakan hak prerogatif presiden.
Kedua, bahwa deklarasi pencapresan Anies yang dilakukan oleh Nasdem sudah sesuai harapan Presiden Jokowi. Ingat, jauh sebelumnya Jokowi telah memberikana restu kepada anggota kabinetnya untuk mulai menaikkan elektabilitas.
"Kemarahan" Hasto (baca: PDIP) pada deklarasi Anies sangat mungkin karena tahu Nasdem telah meminta izin kepada Jokowi. Kedekatan hubungan Jokowi dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh tidak perlu diragukan. Nasdem termasuk partai pertama yang mendukung dan mengusung Jokowi di 2 gelaran pilpres terakhir.
Ingat, deklarasi Anies oleh Nasdem telah merusak skenario 2 capres yang pernah didengungkan Hasto.
Ketiga, pernyataan Ganjar jelas bukan kode dari kandang banteng. Kita tahu, pencapresan menjadi hak mutlak (prerogatif) Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Dalam sejarahnya, Megawati selalu mendeklarasikan jagoannya di menit-menit akhir. Mustahil Ganjar sudah diberi kode sementara Ketua DPP PDIP Puan Maharani masih bergerilya dengan dukungan sejumlah elit partai minus Hasto.
Kita melihat, pernyataan Ganjar lebih cocok ditujukan kepada KIB yang sejak awal ditengarai disiapkan sebagai sekoci Ganjar jika tidak diusung PDIP. Terlebih anggpta KIB merupakan partai-partai Istana dan sejak jauh hari gestur Jokowi menunjukkan dukungan kepada Ganjar.
Jokowi paling intens bertemu dengan Ganjar di berbagai kesempatan di Jawa Tengah, termasuk dalam forum relawan Jokowi.
Di sisi lain, Jokowi tentu tidak ingin meninggalkan legacy demokrasi yang rapuh. Suksesi kepemimpinan nasional harus dilaksanakan secara demokratis. Itu sebabnya Jokowi memberi kesempatan yang sama kepada semua tokoh yang memiliki potensi menjadi penggantinya untuk mulai melakukan kerja politik dalam angka menaikan elektabilitas.
Nantinya Jokowi tinggal merangkul semua capres untuk mendapatkan jaminan kesediaan penggantinya melanjutkan program kerja nasional, terutama menuntaskan pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara.
Mari kita tunggu keberanian KIB mendeklarasikan capresnya seperti keinginan Jokowi. Jika KIB mendeklarasikan Ganjar, maka potensi munculnya 4 pasangan capres dan cawapres di Pilpres 2024 semakin terbuka.
Dengan demikian rakyat memilih banyak pilihan sesuai semangat yang diusung dari puluhan gugatan judicial review terkait tingginya ambang batas presiden (presidential threshold) yang  semuanya telah ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
Tidak perlu ada kekhawatiran terjadinya polarisasi rakyat karena dukung-mendukung kontestan elektoral. Masyarakat kita sudah sangat dewasa. Bahkan dalam lingkup terkecil, pemilihan kepala desa, tidak ada gesekan berkepanjangan akibat beda pilihan.
Gesekan yang terjadi usai dua gelaran pilpres terakhir bukan karena rakyat yang tidak bisa berpolitik, bukan karena belum bisa menerima kekalahan jagoannya, tetapi karena kampanye pembelahan yang sengaja dilakukan segelintir elit politik demi meraih kemenangan.
Jargon-jargon agitatif seperti sebelum era 1965, melabeli lawan politik sebagai musuh negara, adalah contohnya.
Mari berpolitik secara sehat. Beda pendapat, beda pilihan politik, bukan alas pembenar untuk mencaci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H