Apakah Anda tahu nama sekretaris jenderal (sekjen) Partai Golkar saat ini? Mungkin membutuhkan waktu beberapa menit untuk mengingatnya. Pernah mendengar nama sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)? Barangkali Anda, meski rajin mengikuti pemberitaan tentang politik, membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk mengetahuinya.
Namun ketika pertanyaan itu diarahkan ke sekjen PDI Perjuangan, percayalah, waktu yang dibutuhkan untuk mengingatnya jauh lebih pendek. Bahkan bagi sebagian Kompasianer mungkin nama Hasto Kristiyanto sudah melekat dalam ingatan.
Sulit mengingkari, saat ini Hasto adalah sekjen partai politik yang paling terkenal. Namanya sering muncul di media baik ketika menyampaikan rilis kegiatan atau sikap PD Perjuangan, maupun statemennya terkait hal-hal kontroversial.
Popularitas Hasto bahkan mengalahkan sejumlah ketua umum partai politik yang saat ini tengah mengikuti verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu 2024 di KPU. Tidak percaya? Silahkan jawab siapa nama ketua umum Partai Republik Satu atau Partai Garda Perubahan Indonesia. Â
Penyebab lain keterkenalan Hasto adalah ketiadaan juru bicara PDIP dan sulitnya bagi wartawan mewawancarai atau sekedar mendapat statemen langsung Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terkait hal-hal aktual.
Bisa dipahami karena sebagai partai pemenang pemilu sekaligus the ruling party, PDIP (seharusnya) memang tidak membutuhkan lagi isu-isu "retjeh" untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas.
Hasto berhasil membawa PDIP sebagai partai "visioner". Dengan bahasa yang lugas Hasto sukses menjadi "penyambung lidah" Megawati ketika melempar gagasan-gagasan besar yang kemudian menjadi konsumsi masyarakat seperti ketahanan pangan hingga sindiran tajam soal pertahanan nasional yang kini digawangi Prabowo Subianto selaku Menteri Pertahanan.
Tetapi kita juga mencatat sejumlah blunder Hasto dalam mengangkat isu karena akhirnya menjadi serangan balik yang "mematikan" bagi PDIP.
Contohnya ketika Hasto mencoba menggiring mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai "pelaku aktif" dalam penyerangan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta, 27 Juli 1996.
Menjelang momen besar seperti pemilu maupun pilpres, Hasto rajin mengungkit peran SBY yang kala itu menjabat Kasdam Jaya. Padahal serangan Hasto dengan mudah dipatahkan karena SBY pernah diangkat Megawati sebagai Menko Polhukam. Artinya, jika pun SBY melakukan peran sebagaimana yang diduga Hasto, tentu persoalannya sudah selesai.
Lagi pula Sutiyoso yang kala 1996 menjabat Pangdam Jaya alias atasan SBY, pernah didukung PDIP menjadi gubernur Jakarta tahun 2002. Bahkan di tahun 2015, PDIP lagi-lagi mendukung Sutyoso menjadi kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Serangan lain Hasto yang berakibat fatal bagi PDIP adalah ketika mempertanyakan kemajuan Kota Depok yang telah 10 tahun dipimpin kader PKS. Dengan mudah, serangan ini dibalikkan oleh kader-kader PKS.
Kader-kader PKS lantas membeber data banyaknya daerah di Jawa Tengah yang dipimpinan kader PDIP nir-prestasi, bahkan gagal menekan angka kemiskinan ekstrem. Seperti diketahui Jawa Tengah adalah basis PDIP sejak pemilu pertama tahun 1999.
Ketua DPP PDIP Puan Maharani bahkan pernah menyebut puluhan tahun Wonogiri krisis air bersih. Padahal selama berahun-tahun Wonogiri dipimpin kader PDIP.
Terbaru, Hasto secara frontal menyerang Partai Nasdem yang telah mendeklarasikan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden (capres) dengan menggunakan ilustrasi perobekan warna biru pada bendera Belanda di masa perang kemerdekaan.
Hasto terang-terangan mennyebut kini biru sudah tidak ada lagi dalam koalisi partai pendukung pemerintah. Pernyataan Hasto menjadi menarik karena diucapkan usai pertemuan Megawati dengan Presiden Joko Widodo di Istana Batutulis, Bogor.
Apakah pernyataan Hasto sesuai hasil pertemuan Batutulis? Apakah sudah menjadi keputusan presiden selaku pemegang hak prerogatif kabinet? Ataukah baru sebatas desakan Megawati?
Pernyataan Hasto membuat Presiden Jokowi dilematis manakala ternyata Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh sebelumnya sudah meminta izin atau bahkan mendapat restu untuk mendeklarasikan capres.
Pernyataan Hasto juga dapat dinilai sebagai bentuk intervensi kepada presiden manakala ternyata belum ada keputusan untuk "membuang" Nasdem.
Hasto mungkin lupa  bahwa Nasdem sama berkeringatnya dengan PDIP dalam mengusung dan memenangkan Jokowi di 2 gelaran pilpres. Jatah menteri yang dimiliki kader Nasdem, sebagaimana menteri-menteri dari PDIP, adalah buah politik balas jasa, power sharing yang lazim terjadi dalam sebuah koalisi.
Koalisi pengusung Jokowi berdurasi 5 tahun, sampai Oktober 2024. Dukungan yang diberikan partai-partai koalisi penopang Istana adalah dalam hal mengamankan kebijakan dan program kerja pemerintah.
Sedangkan pencapresan untuk presiden pasca 2024 menjadi hak prerogatif partai yang tidak terikat dengan sikap politik koalisi. Oleh karenanya desakan agar Nasdem menarik menteri, yang berarti menempatkan sebagai oposisi, jelas keliru.
Lebih rancu lagi karena Hasto (baca: PDIP) tidak mempersoalkan Partai Golkar dan PPP sebagai anggota partai koalisi Istana, mendekalarsikan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama PAN yang saat itu belum masuk kabinet. Â
Ditambah ketika Prabowo dalam kapasitas sebagai ketua umum Partai Gerindra mendeklarasikan kesiapannya sebagai capres dan melakukan lobi-lobi politik secara intens dengan PKB.
Menempatkan Anies sebagai oposisi jelas tidak tepat karena gubernur adalah pembantu presiden di daerah alias bagian dari pemerintah pusat. Untuk DKI, justru PDIP beroposisi terhadap pemerintah.
Ataukah sematan oposisi kepada Anies karena tidak diusung dan didukung PDIP, bahkan mengalahkan jagoannya? Jika benar demikian, PDIP telah membajak pengertian oposisi sesuai seleranya dengan menafikan keberadaan partai-partai lain. Bukankah di Pilgub DKI 2017 Anies diusung oleh Gerindra yang kini menjadi bagian dari pemerintah pusat? Â
Dalam politik ada fatsun, etika dan sikap saling menghormati kawan maupun lawan. Sportifitas bukan hanya untuk olahraga, namun juga politik.
Bagaimana bangsa ini bisa besar jika perdebatan-perdebatan yang dibeber oleh elit politik- yang diharap menjadi garda terdepan dalam membawa bangsa ini menuju cita-cita kemerdekaan, masih sebatas ego sentris yang mematikan ruang nalar dan nir-etika?
Kita tidak butuh tangisan elit partai. Kita hanya ingin kedewasaannya dalam berpolitik. Jika pun tidak mampu menjadi negarawan, setidaknya jangan menjadikan politik sebagai alat untuk memecah-belah anak bangsa. Â
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H