Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Adu Kuat Lobi (Larangan) Ekspor CPO dan Minyak Goreng

28 April 2022   17:47 Diperbarui: 28 April 2022   17:48 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perkebunan sawit. Foto: Shutterstock melalui Kompas,com

Belum genap semalam, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto meralat ucapannya terkait ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) setelah Presiden Joko Widodo mengulang penegasan terkait larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Bukti adanya campur tangan mafia?  

Untuk memahami konstruksi kasusnya, harus dibuka kembali catatan ketika harga minyak goreng merangkak naik mulai September 2021. Alih-alih memaksa pengusaha agar memathui harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan, pemerintah memilih mengucurkan subsidi dan menaikkan harga eceran tertinggi per Februari 2022. Dan kebijakan ini berakhir tragis.

Subsidi Rp 3,6 triliun diduga menguap, minyak goreng kemasan menghilang dari ritel modern yang ditunjuk untuk menyalurkan minyak goreng subsidi. Di pasar harga tetap bertengger di atas Rp 22 ribu hingga Rp 26 ribu per liter dari seharusnya Rp 14 ribu per liter.

Terlebih framming melalui media sosial tentang adanya masyarakat yang menimbun, gagal di tengah rasa muak masyarakat dengan cara pemerintah menangani masalah minyak goreng. Di tengah antrian ibu-ibu seantero negeri demi mendapatkan seliter minyak goreng.

Pulang dari kemah di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Presiden Jokowi memimpin rapat kabinet sambil membawa minyak goreng. Sehari kemudian, tepatnya pada 17 Meret 2022, pemerintah menyerah dengan melepas harga minyak goreng sesuai kemauan pengusaha sawit.

Seketika itu juga, hanya dalam hitungan jam, minyak goreng kemasan membanjiri ritel modern dengan harga yang telah berganti menjadi rerata Rp 25 ribu per liter alias naik lebih dari Rp 12 ribu jika melihat HET awal yakni kisaran Rp 11.500 -- Rp 13 ribu per liter, atau naik sekira Rp 11 ribu dibanding HET terakhir yang ditetapkan pemerintah.

Kita disuguhi atraksi sulapan. Sampai-sampai Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi dalam rapat dengar pendapat dengan DPR menyebut ada mafia pangan yang bermain dalam kisruh minyak goreng.

Harga minyak goreng yang sangat-sangat mahal di negeri dengan ladang sawit terluas, dengan prosuksi CPO terbesar, di dunia, adalah ironi pertama tentang kegagalan pemerintah melawan mafia.  

Namun mafia, meminjam istilah yang digunakan Mendag, belum puas. Kucuran subsidi tahap kedua sebesar Rp 7.28 tiliun kepada pengusaha sawit agar harga jual kepada masyarakat bisa sesuai HET terbaru yang telah dinaikan dari Rp 11 ribu menjadi Rp 14 ribu per liter, kembali "dipantati" pengusaha.

Jangankan harga turun menjadi Rp 14 ribu per liter, di sejumlah tempat harga jual minyak goreng curah mencapai Rp 20 ribu per liter dan itu pun harus antri! Beberapa kali pedagang pasar tradisional kehabisan stok sehingga pembeli terpaksa membeli minyak goreng kemasan seharga Rp 25 ribu per liter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun