Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Status Hukumnya Inkrah, Bisakah Jaksa Pinangki Tidak Dipecat?

6 Juli 2021   08:01 Diperbarui: 6 Juli 2021   10:33 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jaksa Pinangki Sirna Malasari bisa menarik nafas lega setelah jaksa penuntut umum memutuskan tidak mengajukan kasasi. Artinya putusan pengadilan terakhir langsung berkekuatan hukum tetap (inkrah). Sesuai aturan setelah kasusnya inkrah maka segera dilakukan pemecatan tidak hormat dari status PNS-nya. Tetapi melihat proses hukumnya, timbul pertanyaan, mungkinkah Pinangki akan lolos dari sanksi pemecatan?

Seperti diketahui, setelah ditangkap oleh Kejaksaan Agung tanggal 11 Agustus 2020 karena diduga menerima suap sebesar Rp 7,4 miliar dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra, Pinangki langsung ditahan di rutan Salemba.

Pinangki kemudian dijerat dengan Pasal 5 Ayat (2) UU Tipikor. Hukuman maksimal untuk pasal ini adalah 5 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 250 juta.

Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.  JPU menuntut Jaksa Pinangki dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Pinangki didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (2) junto Pasal 5 Ayat (1) huruf (a) UU Tipikor. Jaksa yang dikabarkan pernah melakukan operasi plastik itu juga didakwa melanggar Pasal 3 UU Nomor 8 Thaun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana  Pencucian Uang (TPPU) serta Pasal 15 junto Pasal 5 Ayat (1)  huruf (a) UU Tipikor subsider Pasal 15 junto Pasal 13 UU Tipikor.

Dalam dakwaannya JPU menyebut Pinangki menerima suap yang dimaksudkan untuk melakukan pemufakatan jahat dalam pengurusan fatwa di Mahkamah Agung. Fatwa ini bertujuan agar Djoko Tjandra tidak perlu menjalani vonis 2 tahun penjara yang sudah inkrah. Bahkan beredar rumor uang hasil kejahatannya sebesar Rp 546 miliar akan dikembalikan.

Terkait keberadaan uang tersebut memang cukup menarik karena pernah ditanyakan oleh mantan Ketua KPk Antasari Azhar yang saat perkara cessie Bank Bali bergulir bertindak sebagai JPU. Terhadap kecurigaan Antasari, Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimulyadi pada tahun 2020 lalu mengatakan uang hasil kejahatan Djoko Tjandra sudah disetor ke kas negara pada 29 Juni 2009 setelah kasusnya inkrah meski yang terpidana melarikan diri ke Singapura.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor kemudian menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 8 bulan kurungan kepada Jaksa Pinangkl. Hakim meyakini Pinangki terbukti melakukan tindak pidana suap, TPPU dan pemufakatan jahat. Artinya seluruh dakwaan JPU dinyatakan terbukti.   

Tidak terima, Jaksa Pinangki mengajukan banding. Pengadilan Tinggi Jakaarta lantas menyunat hukumannya menjadi hanya 4 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan penjara.

Menariknya salah satu pertimbangan majelis hakim menyjnat hukumannya adalah status Pinangki sebagai wanita yang harus mendapat perhatian, perlindungan dan diperlakukan adil. Selain itu Pinangki memiliki anak berusia 4 tahun sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberikan kasih sayang. Pertimbangan lainnya, telah mengakui dan menyesali perbuatannya serta iklas dipecat dari profesinya sebagai jaksa.  

Seperti umumnya persoalan di negeri ini, opini publik pun terbelah antara yang pro dan kontra terhadap putusan banding Pinangki. Namun yang pasti aktivis anti-korupsi menganggap putusan tersebut mencederai rasa keadilan. Bukan saja karena Pinangki seorang penegak hukum yang mestinya menjaga marwah hukum, namun pertimbangannya sebagai wanita yang memiliki balita sungguh sulit diterima nalar sehat. Sebab dalam banyak kasus lain, semisal terpidana korupsi Angelina Sondakh, tidak ada pertimbangan semacam itu.

Di tengah derasnya kecaman dan desakan agar JPU melakukan kasasi, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Ali Mukartono meminta agar kasus Jaksa Pinangki tidak dibesar-besarkan karena negara sudah untung mendapat mobil. Seperti diketahui mobil BMW X-5 milik Pinangki dirampas negara sebagai barang bukti TPPU.

Dan kini JPU telah resmi tidak mengajukan kasasi. Artinya hukuman Pinangki didasarkan pada putusan Pengadilan Tinggi yakni 4 tahun penjara dan denda Rp 600 juta yang jika tidak dibayar diganti dengan hukuman 6 bulan penjara.

Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Jakaarta Pusat Riono Budisantoo, JPU tidak mengajukan kasasi karena tuntutan sudah terpenuhi. Hal itu juga sudah sesuai Pasal 253 KUHAP di mana jaksa menilai tidak ada alasan mengajukan permohonan kasasi.

Tidak Dipecat, Mungkinkah?

Ketika ditangkap dan ditahan, Pinangki diberhentikan sementara dari jabatan kepegawaiannya dan hanya menerima setengah gaji. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono hal itu sesuai  Pasal 10 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 yang menyebut apabila seorang jaksa ditangkap dan diikuti dengan penahanan yang sah, jaksa tersebut dengan sendirinya diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung. Pemberhentian sementara tidak menghapus statusnya sebagai jaksa.

Jika persidangan telah selesai, dan diputus bersalah serta sudah  inkrah, maka bisa dilakukan proses pemecatan dengan tidak hormat sebagaimana diatur pada Pasal 12 PP 20/2008.

Pertanyaannya, apakah pemecatan tidak hormat itu bersifat otomatis? Bahkan andai Pasal 12 PP 20/2008 ditafsirkan sebagai "otomatis dipecat" masih terbuka kemungkinan eksekusinya berbeda.

Asumsi ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, fatwa yang diusahakan Pinangki untuk membebaskan Djoko Tjandra bertentangan dengan peraturan yang ada. Jika untuk orang lain mau melakukan upaya sedemikian luar biasanya, menabrak norma dan sumpah jabatan, apalagi untuk diri sendiri.

Kedua, desakan dan tuntutan aktivis anti-korupsi agar JPU mengajukan kasasi atas pemotongan vonis Pinangki, tidak dianggap sebagai hal serius hingga diabaikan. Terlebih banyak yang meyakini ada upaya melindungi king maker, pemain sebenarnya yang memiliki posisi lebih tinggi dari Pinangki. Sang king maker mungkin saja akan melakukan segala upaya agar Pinangki tidak dipecat dari status kepegawaian.   

Ketiga, Pinangki seorang ibu yang masih memiliki balita. Poin ini bisa dijadikan alasan untuk tidak memecatnya. Memang sangat janggal tetapi melihat alasan Pengadilan Tinggi saat mengurangi hukuman lebih dari setengah dari vonis yang dijatuhkan pengadilan di bawahnya, sepertinya saat ini hal-hal yang aneh dan janggal tidak lagi tabu digunakan.

Tentu kita sangat berharap masih ada keadilan. Kita meminta Kejaksaan Agung tidak membuat tafsir lain terhadap ketentuan pemecatan jaksa yang telah terbukti bersalah dan berkekuatan hukum tetap.

Tetapi andai nanti faktanya berbeda, tulisan ini dimaksudkan agar kita tidak berisik lagi. Gunakan falsafah Jawa paling adiluhung untuk menyikapi ketidakberdayaan: ben ora kecewa dewe kudu ngerti kapan wektune ngarep, kapan kudu mandeg.

Mungkin saat ini waktunya kita berhenti berharap pada keadilan agar tidak kecewa.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun