Dan kini JPU telah resmi tidak mengajukan kasasi. Artinya hukuman Pinangki didasarkan pada putusan Pengadilan Tinggi yakni 4 tahun penjara dan denda Rp 600 juta yang jika tidak dibayar diganti dengan hukuman 6 bulan penjara.
Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Jakaarta Pusat Riono Budisantoo, JPU tidak mengajukan kasasi karena tuntutan sudah terpenuhi. Hal itu juga sudah sesuai Pasal 253 KUHAP di mana jaksa menilai tidak ada alasan mengajukan permohonan kasasi.
Tidak Dipecat, Mungkinkah?
Ketika ditangkap dan ditahan, Pinangki diberhentikan sementara dari jabatan kepegawaiannya dan hanya menerima setengah gaji. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono hal itu sesuai  Pasal 10 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 yang menyebut apabila seorang jaksa ditangkap dan diikuti dengan penahanan yang sah, jaksa tersebut dengan sendirinya diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung. Pemberhentian sementara tidak menghapus statusnya sebagai jaksa.
Jika persidangan telah selesai, dan diputus bersalah serta sudah  inkrah, maka bisa dilakukan proses pemecatan dengan tidak hormat sebagaimana diatur pada Pasal 12 PP 20/2008.
Pertanyaannya, apakah pemecatan tidak hormat itu bersifat otomatis? Bahkan andai Pasal 12 PP 20/2008 ditafsirkan sebagai "otomatis dipecat" masih terbuka kemungkinan eksekusinya berbeda.
Asumsi ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, fatwa yang diusahakan Pinangki untuk membebaskan Djoko Tjandra bertentangan dengan peraturan yang ada. Jika untuk orang lain mau melakukan upaya sedemikian luar biasanya, menabrak norma dan sumpah jabatan, apalagi untuk diri sendiri.
Kedua, desakan dan tuntutan aktivis anti-korupsi agar JPU mengajukan kasasi atas pemotongan vonis Pinangki, tidak dianggap sebagai hal serius hingga diabaikan. Terlebih banyak yang meyakini ada upaya melindungi king maker, pemain sebenarnya yang memiliki posisi lebih tinggi dari Pinangki. Sang king maker mungkin saja akan melakukan segala upaya agar Pinangki tidak dipecat dari status kepegawaian. Â Â
Ketiga, Pinangki seorang ibu yang masih memiliki balita. Poin ini bisa dijadikan alasan untuk tidak memecatnya. Memang sangat janggal tetapi melihat alasan Pengadilan Tinggi saat mengurangi hukuman lebih dari setengah dari vonis yang dijatuhkan pengadilan di bawahnya, sepertinya saat ini hal-hal yang aneh dan janggal tidak lagi tabu digunakan.
Tentu kita sangat berharap masih ada keadilan. Kita meminta Kejaksaan Agung tidak membuat tafsir lain terhadap ketentuan pemecatan jaksa yang telah terbukti bersalah dan berkekuatan hukum tetap.
Tetapi andai nanti faktanya berbeda, tulisan ini dimaksudkan agar kita tidak berisik lagi. Gunakan falsafah Jawa paling adiluhung untuk menyikapi ketidakberdayaan: ben ora kecewa dewe kudu ngerti kapan wektune ngarep, kapan kudu mandeg.