Novel yang baik tercipta dari saripati kegelisahan penulisnya. Ragam gelisah tentu tak terhingga, dari persoalan pribadi hingga dunia, dari cinta hingga murka. Luasnya kegelisahan seseorang berbanding lurus dengan latar belakangnya. Membaca Alena adalah membaca kegelisahan seorang Pepih Nugraha.
Setidaknya itu yang aku tangkap setelah membaca novel 337 halaman + viii terbitan Lembaga Literasi Dayak, 2021.
Tulisan ini bukan resensi, bukan pula dimaksud sebagai ulasan karena aku bukan kritikus novel, apalagi sastra. Lebih sebagai apresiasi dari pembaca novel Alena yang tidak saja memikat dan menghanyutkan, namun juga menambah pengetahuan dan wawasan.
Ketika teman di facebook mengabar tentang rencana launching Alena, ada dua hal yang menggelitik sehingga kemudian memesan.
Pertama, cover yang digarap dengan sangat bagus oleh Pak Aji Najiullah Thaib. Ingatanku melayang pada masa remaja ketika masih berkutat dengan novel-novel Motinggo Busye.
Namun setelah membaca nama pengarangnya, aku langsung berekspektasi lebih dari sekedar "bertemu" Motinggo Busye milenial. Aku haqul yakin, Kang Pepih tidak akan mengajakku mimpi basah setelahnya.
Novel dibuka dengan isu yang menjadi milik semua kaum, tema pemersatu bangsa: video syur. Tidak perlu woro-woro lagi, setelah membaca bab pembuka, kaum bani pengkavling surga pun akan langsung jatuh hati sambil melafaz doa paling sakral agar segera ada "penjelasan detail" terkait video syur di halaman berikutnya.
Pelakunya, Alena yang sosialita ibu kota, dari golongan tak tersentuh plus wartawan yang serba tahu, dan Pratama - laki-laki culun, tukang adzan, dan senang filsafat, memiliki nilai jual jual tinggi. Aku sempat membayangkan Alena akan didemo tentara Allah dengan tuduhan antek zionis, kafir, Â perusak aqidah dan penista laki-laki. Ya, penista laki-laki karena Alena menyalahi kodrat sebagai pihak yang mengajak duluan.
Tetapi setelah itu, aku kehilangan jejak Alena. Pertanyaan paling bodoh adalah apa yang ingin disampaikan Kang Pepih? Di mana muara kegelisahannya?Â
Sebab bab-bab berikutnya novel Alena menjadi cermin untuk memantulkan gambaran luasnya luas pengetahuan dan pengalaman penulisnya, ditambah intensitas dan kedalamannya dalam berinteraksi dengan beragam kalangan. Novel Alena menjelma menjadi jendela besar di mana pembaca dapat melihat semua peristiwa baik kekinian maupun masa lalu. Â
Dengan santai Kang Pepih menyandingkan mibaso dengan lasagna, Tasikmalaya yang masih trauma dengan letusan Gunung Galunggung dibenturkan dengan kota yang menjadi kiblat pengetahuan dunia, London. Kang Pepih asyik saja ketika membahas ghirah Islam di Eropa dengan isu-isu politik dalam negeri. Pun ketika menelisik filsafat dengan lanskap budaya massa. Â Â Â