Mesin politik menuju gelaran elektoral 2024 mulai bekerja. Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama pemerintah dan DPR juga telah menetapkan tanggal pelaksanaannya. Lobi disertai gimmick politik untuk menaikan elektabilitas partai dan jagoannya di pilpres mendatang, makin intens. Demikian juga upaya jegal-menjegal.
Di sisi lain lembaga-lembaga survei terus menggiring opini melalui rilis elektabilitas yang kemudian dijadikan dasar para analisis untuk mengutak-atik bakal calon. Jika dicermati, ada upaya untuk "memancing" Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto kembali ke medan pilpres yang telah tiga kali dilakoni dan berakhir dengan kekalahan .
Jika berhasil maka Prabowo akan kembali bertarung, dan siapa pun pasangannya dipastikan kalah, bahkan andai melawan Ridwan Kamil sekalipun. Sebab setelah Prabowo menjadi Menteri Pertahanan Kabinet Joko Widodo yang menjadi rivalnya di dua gelaran pilpres terakhir, secara umum pendukungnya berkurang dratis. Wajar saja karena sebagian pendukungnya memposisikan diri - dalam konteks politik - sebagai rival Jokowi dan PDIP Perjuangan.
Sementara pada saat yang sama, Prabowo belum menjadi idola kaum nasionalis pemilih PDIP. Bahkan kader-kader PDIP ikut "menyerang" program pengadaan alutsista bernilai ribuan triliun yang rencananya dibiayai dari utang.
Jika saat ini elektabilitasnya di beberapa survei, cukup tinggi, jawabannya bisa dirunut ke belakang, di mana sebagian besar hasil survei tidak pernah sama dengan real count. Ada banyak penyebabnya. Bukan rahasia lagi, lembaga survei juga menerima order untuk mem-branding seseorang agar memiliki elektabilitas tinggi  menjelang kompetisi elektoral. Tidak ada jaminan, tokoh-tokoh yang sekarang memiliki elektabilitas tinggi terbebas dari  lembaga survei.
Dari pemahaman di atas, menjadi kurang tepat upaya sebagian kader PDIP menjodohkan Ketua DPR Puan Maharani dengan Prabowo. Sebagai partai pemenang Pemilu dan petahana, PDIP harus memiliki target maksimal. Terlebih, dalam kapasitasnya sebagai ketua DPP sekaligus anak Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputi, Puan nyaris tidak memiliki pesaing untuk menggunakan perahu PDIP. Megawati tentu tidak akan melepas peluang yang dimiliki meski ada kader dengan elektabilitasnya lebih tinggi.
Banyak kader PDIP yang meyakini, termasuk Ketua DPP PDIP Bambang "Pacul" Wuryanto, elektabilitas Puan belum "dipoles" sehingga selalu berada di bawah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Hal itu juga yang kemudian mendorong politisi PDIP Effendi Simbolon melempar wacana duet Puan -- Anies Baswedan.
Seperti diketahui, dalam berbagai survei Gubernur DKI Jakarta itu memiliki elektabilitas cukup tinggi sebagaimana Ganjar dan Prabowo. Ketiganya secara konsisten bergantian di posisi tiga besar.
Mengingat duet Puan -- Ganjar sulit diterima mitra koalisi, maka jika PDIP tetap memasang Puan sebagai capres, harus harus didampingi tokoh yang memiliki basis pendukung berbeda dengan PDIP. Menurut Effendi Simbolon, Anies seorang intelektual, akademisi, tenang, dan didukung mayoritas masyarakat relijius. Figur demikian cocok dipasangkan dengan Puan yang nasionalis.
Benarkah?
Penulis sudah menganalisa kemungkinan duet Puan -- Anies atau sebaliknya, beberapa hari sebelum lontaran Effendi Simbolon. Sebab yang paling tepat mendampingi Puan adalah sosok yang dapat diterima oleh kelompok yang resisten terhadap Puan. Bukan rahasia lagi, Puan sulit diterima pada kelompok masyarakat yang masih "mengharamkan" perempuan sebagai pemimpin. Kelompok ini "dapat dirangkul" jika Puan disandingkan dengan Anies.