Menteri Pertahanan Prabowo Subianto santer disebut akan dijadohkan dengan Ketua DPR Puan Maharani dalam kontestasi Pilpres 2024. Jika melihat sejumlah indikator ini, wacana itu tak lebih hanya gimmick politik alias pepesan kosong.
Munculnya wacana duet itu dialasi tingginya elektabilitas Prabowo, yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, dalam beberapa survei. Sementara pada saat yang sama, elektabilitas Puan justru anjlok. Padahal selain pengurus inti, Puan juga putri Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Banyak yang percaya, Mega ingin Puan mendapat tempat di Pilpres 2024 mendatang. Itu sebabnya jauh-jauh hari  Mega menolak wacana amandemen kelima UUD 1945 yang membuka jalan perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode atau lebih. Sebab jika amandemen terlaksana, Presiden Joko Widodo yang sudah menjabat dua periode, bisa maju kembali di Pipres 2024.
Mega tidak menghendaki hal itu. Setelah  tegas menyatakan menolak, maka kader-kadernya di DPR/MPR dijaga ketat agar tidak mbalelo.
Namun kelompok yang menghendaki dilakukannya  amandemen UUD juga tidak tinggal diam. Produk paling nyata dari kelompok ini adalah mencuatnya wacana duet Jokowi -- Prabowo. Jika Prabowo tertarik, maka kader-kader Gerindra yang akan menginisiasi gerakan amandemen UUD di MPR. Dalam kalkulasi politik kekinian, meski Mega tetap ngotot menolak, namun jika voting dilakukan secara tertutup, bisa dipastikan sejumlah kadernya akan mbalelo.
Tidak ingin hal itu terjadi, diciptakanlah kontraduet yakni Prabowo - Puan. Secara politik duet ini lebih menguntungkan Gerindra sehingga kader-kadernya tidak akan menggulirkan rencana amandemen.
Sampai di sini dapat dipahami mengapa mendadak muncul wacana duet Jokowi -- Prabowo yang dibalas dengan duet Prabowo -- Puan. Elektabilitas yang dirilis lembaga-lembaga survei, terutama  lembaga-lembaga survei musiman dan dadakan, hanya hiasan karena bisa disesuaikan dengan arah angin. Bukan hal baru hasil survei berbeda jauh dengan riil count, dengan suara masyarakat sebenarnya pada saat gelaran kontestasi elektoral.
Artinya, Prabowo hanya dijadikan "alat perang" oleh kedua kubu.
Hebatnya, meski sejatinya hanya "perang internal", kedua kubu tetap berusaha melibatkan emosi masyarakat. Â Â
Itu sebabnya isu radikalisme, intoleran serta narasi adanya gerakan melawan Pancasila dan NKRI, terus diproduksi, didengungkan dan disematkan kepada siapa saja yang memiliki suara atau pandangan berbeda dengan arus utama. Peristiwa emak-emak "keselo jari" akan di-blow up sebagai pembenar adanya ancaman serius terhadap NKRI.
Kita tidak menafikan adanya kelompok yang berpaham intoleran, radikal. Kita mendukung sikap tegas pemerintah dan aparat penegak hukum, Namun menggunakannya sebagai pengesah labelisasi kepada semua orang yang sedang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, adalah soal lain.
Sebab isu-isu demikian terbukti efektif digunakan untuk kepentingan politik. Masyarakat dihadapkan pada dua pilihan secara hitam putih: pilih A akan menjadi negara agama, dan pendukungan adalah radikalis -- kilafah, atau pilih B yang berarti pancasilais, toleran dan antiradikal.
Tidak mengherankan jika isu Taliban di KPK sedemikian seksi untuk digaungkan. Tujuannya bukan sekedar menjegal pegawai KPK dengan dalih tes wawasan kebangsaan, namun target lain yang lebih besar.
Jika demikian, apakah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo hanya "korban" dari pertarungan di atas? Tidak dapat sertamerta disimpulkan demikian. Pesan yang ingin disampaikan Puan terhadap Ganjar, setidaknya jika dilihat dari pernyataan Ketua DPD PDIP Jawa Tengah Bambang "Pacul" Wuryanto, sudah sangat jelas: perahu PDIP kali ini untuk trah Soekarno.
Jika posisi Ganjar menguat, bukan mustahil Megawati dan kroninya akan melakoni "perang" di dua front yakni dengan pendukung amandemen UUD dan Ganjar yang juga menolak amandemen tetapi menghendaki perahu PDIP. Â Â
Apakah jika pertarungan dimenangkan pengusung amandemen UUD, duet Jokowi -- Prabowo akan terjadi? Benar, sebab Jokowi membutuhkan perahu besar dengan asumsi akan berpisah dengan PDIP.
Lalu apakah jika Megawati yang menang, duet Prabowo -- Puan akan terjadi? Tidak, karena Megawati tentu tidak ingin partainya menjadi subordinasi Gerindra. Mega tidak akan membiarkan Pemilu 2029 menjadi milik Geindra.
Maka yang paling realistis PDIP akan menggandeng tokoh nonpartai untuk dipasang dengan Puan. Namun dengan syarat tokoh tersebut memiliki dukungan signifikan dari partai lain dan tidak berpotensi menggerus suara PDIP di masa mendatang.
Andai kondisi sangat darurat, Ganjar bisa saja dimajukan dengan syarat bisa membawa gerbong partai lain. Tetapi kemungkinan ini sangat kecil mengingat duet Ganjar - Puan atau Puan - Ganjar bukan duet terbaik, bukan the winning team, untuk Pilpres 2024, siapa pun lawannya.
Anda punya prediksi berbeda? Mari beropini sebelum opini dilarang!
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H