Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kudeta Militer, Daw Suu dan Gus Dur

22 Februari 2021   14:35 Diperbarui: 23 Februari 2021   10:37 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase foto tribunnews.com

Aksi demonstrasi di Myanmar menentang kudeta militer semakin memanas dan menimbulkan korban jiwa. Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, merasa sudah cukup dengan menyeru imbauan normatif seraya berlindung di balik piagam yang melarang campur-tangan urusan dalam negeri anggota.

China yang sedang membangun hegemoni kekuatan menggantikan Uni Sovyet yang sudah ambruk, memilih memanfaatkan situasi untuk mencengkramkan pengaruhnya. Jenderal Min Aung Hlaing yang saat ini berkuasa, lebih menguntungkan dijadikan teman dibanding lawan.

Di sisi lain, Amerika Serikat (AS) yang sedang mempertahankan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara demi kebebasan akses di Laut China Selatan, hanya mengirim gertak tanpa proposal yang jelas. Embargo hingga sanksi terhadap Myanmar tidak sedang menjadi pilihan terbaik AS tanpa dukungan ASEAN.

Dari lanskap itu, sulit bagi rakyat Myanmar melawan kudeta militer. Terlebih sejak merdeka, Myanmar lebih lama dipimpin oleh militer. Bahkan ketika kepemimpinan di tangan sipil, konstitusi Myanmar tetap memberikan ruang kepada militer untuk mengambil alih dan memimpin negara jika demokrasi dianggap mati.

Tafsir terhadap klausul ini yang dijadikan dasar militer ketika menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint dan pentolan Partai National League for Democracy (NLD), Senin, 1 Februari 2021 lalu.

Jenderal Hlaing menuding NLD, yang memenangi pemilu terakhir, melakukan kecurangan untuk meraup dukungan mayoritas. Tudingan ini sudah cukup untuk memenuhi klausul kembalinya rezim militer di negara yang dulunya bernama Burma tersebut.

Dengan bahasa lain, kudeta militer di Myanmar sudah sesuai dengan konstitusi yang berlaku sehingga menjadi urusan dalam negeri!

Siapa yang wajib disalahkan dalam situasi demikian itu? Daw Suu, panggilan hormat rakyat Myanmar untuk Aung San Suu Kyi, berada di urutan pertama.

Ketika dibebaskan dan memenangi Pemilu 2015, meski gagal menjadi presiden karena menikah dengan warga negara asing, Daw Suu adalah pemimpin sebenarnya dengan jabatan penasehat negara dan memiliki kuasa penuh menunjuk calon presiden. Siapa pun yang ditunjuk Suu Kyi pasti jadi presiden karena partainya menguasai parlemen.

Namun selama hampir 10 tahun berada di luar tahanan dan bahkan kemudian mencapai posisi sangat menentukan, Suu Kyi gagal memanfaatkannya untuk mendorong militer ke barak sebagaimana lazimnya di negara-negara demokrasi.

Bukan hanya tidak mampu melawan, Suu Kyi justru terlihat bergantung kepada militer. Jangankan membuang klausul di dalam konstitusi untuk menutup kembalinya militer ke ranah sipil, sekedar melindungi warga minoritas Rohingya pun gagal.

Bahkan di panggung International Court of Justice di Den Haag Belanda, peraih Nobel Perdamaian yang dielu-elukan Barat sebagai pejuang demokrasi itu, terang-terangan membela aksi genosida yang dilakukan tentara dan kelompok ultranasionalis berbasis agama, tentara terhadap Muslim Rohingya.

Hal ini juga yang mungkin menjadi pertimbangan sejumlah negara menghadapi situasi di Myanmar. Toh di masa sipil berkuasa, peran militer tetap dominan. Tidak banyak perubahan dibanding junta militer yang berkuasa sebelumnya.

Tentu ada juga faktor pandemi Covid-19 di mana seluruh negara sedang sibuk dengan urusan kesehatan dan ekonomi di dalam negerinya.

Artinya, meski terjadi gejolak dan penolakan rakyat Myanmar terhadap kudeta, bisa dipastikan, kekuasaan militer tetap akan bertahan setidaknya sampai setahun sesuai janji Hlaing, jenderal bengis yang pernah tiga kali gagal masuk militer.

Gus Dur

Mengapa Aung San Suu Kyi tidak mencontoh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam merontokkan cengkeraman kekuasaan  militer di ranah sipil? Meski tidak berhasil sepenuhnya, saat menjadi Presiden RI (1999-2001) Gus Dur berani melawan militer yang masih terkenang dengan romantisme Orde Baru.

Gus Dur berani mengganti Panglima TNI (saat itu) Jenderal Wiranto yang telah bersumpah akan melindungi mantan Presiden Soeharto. Gus Dur kemudian mengangkat Laksamana Widodo AS, Panglima TNI pertama yang tidak berasal dari Angkatan Darat (AD).

Kebijakan yang meruntuhkan dominasi AD di level komando tertinggi TNI itu bukan tanpa perlawanan, terutama setelah Gus Dur mengganti Pangkostrad Letjen TNI Djaya Suparman dengan Letjen Agus Wirahadikusumah.

Senior TNI banyak yang gerah dengan sikap Agus Wirahadikusumah. Terlebih setelah keluar Dokumen Bulak Rantai pertengahan tahun 2000. Meski menolak disebut berada di balik dokumen tersebut, tudingan Agus Wirahadikusumah sedang membuat plot untuk menggeser Widodo AS dan sejumlah petinggi militer lainnya, tetap berhembus kencang.

Widodo AS pun melakukan perlawanan dengan meminta Gus Dur mencopot Pangkostrad dan sejumlah jenderal lain di posisi kunci. Namun Gus Dur tidak mau didikte tentara. Gus Dus justru mencopot Wakil Panglima TNI Jenderal Fachrul Razi sekaligus menghapus jabatan tersebut.

Saat ini jabatan Wakil Penglima TNI masih kosong meski pernah diwacanakan mantan Panglima TNI Moeldoko (kini menjabat Kepala Kantor Staf Kepresidenan) dan tertera dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI.

Di masa Gus Dur rotasi dan mutasi pejabat militer dilakukan secara berulang yang sangat mungkin dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pengelompokan kekuatan di dalam tubuh militer atas dasar angkatan dan senioritas. Langkah ini sekaligus menutup ruang terjadinya kudeta militer.

Pencopotan Pangkostrad dan menggantinya dengan Letjen Ryamizard Ryacudu, 1 Agustus 2000, juga bisa dibaca demikian mengingat saat itu Agus Wirahadikusumah sudah semakin kuat dengan dukungan Menteri Sekretaris Negara Bondan Gunawan.

Gus Dur sempat akan mengganti Panglima TNI dan Kapolri sekaligus saat melakukan mutasi besar-besar di bulan September dan Oktober 2000. Namun upayanya tidak berhasil. Bahkan belakangan terjadi dualisme kepemimpinan di tubuh Polri.

Gus Dur akhirnya dipaksa lengser oleh MPR pimpinan Amien Rais. Namun wajah TNI sudah berubah total. TNI tidak lagi menjadi kekuatan penentu setelah hilangnya Fraksi ABRI di Senayan dan pasca Gus Dur melakukan perombakan secara dramatis.

Mengapa Aung San Suu Kyi tidak berani melakukan hal seperti itu pada saat menggenggam kekuasaan? Mengapa justru membeo pada kehendak militer?

Tidak ada alasan pembenar bagi Suu Kyi untuk takut pada kekuatan militer karena sebelumnya juga sudah melakukan perlawanan terhadap junta militer hingga dipaksa menjalani tahanan rumah selama puluhan tahun.

Jika masih ada kesempatan menggenggam kembali kekuasaan di negaranya, Daw Suu harus belajar pada cara Gus Dur meruntuhkan dominasi militer.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun